Monday, 24 February 2014

Pengaruh Budaya Politik Lokal di Indonesia terhadap Sistem Birokrasi Yogyakarta




Pengantar
            Indonesia memiliki berbagai model budaya politik lokal. Model budaya politik lokal yang ada di indonesia itulah, yang akan mempengaruhi peranan birokrasi pemerintahan di beberapa daerah yang diberikan hak istimewa. Model-model budaya politik lokal ini berkembang sebagai reaksi dari adanya tekanan sosial, politik, dan ekonomi. Ia lahir dari adanya interaksi antara pola tingkah laku dan pola untuk bertingkah laku dalam masyarakat. Sementara itu, sistem birokrasi ada di tengah-tengah pola tingkah laku masyarakat tersebut (Priyatmoko, 1991:252). 
            Budaya politik lokal tumbuh dan berkembang pada kelompok-kelompok masyarakat yang mewariskan nilai-nilai positif yang sama, sehingga harus dikembangkan dalam penyelenggraan pemerintahan, khususnya pada sistem birokrasi di daerah (Priyatmoko, 1991:254). Hal ini dikarenakan budaya politik lokal tersebut, mempunyai nilai sejarah sebagai bentuk perjuangan untuk membentuk sistem politik, mempunyai cara tersendiri untuk menyelesaikan persoalan-persoalan, dan juga adanya aspek-aspek heroik yang membanggakan. Salah satunya contohnya adalah model budaya politik Jawa dan nilai-nilai filosofis di dalamnya. Model budaya politik Jawa ini terkait dengan sistem birokrasi lokal yang dianut oleh Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Dalam konsep budaya politik Jawa, dikenal sistem politik patrimonial. Sistem patrimonial artinya sistem pewarisan berdasarkan garis keturunan ayah. Dengan demikian, pewarisan kekuasaan yang ada pada masyarakat Jawa didasarkan pada garis keturunan ayah bukan ibu. Posisi kaum lelaki menjadi bagian yang sangat penting dalam pengambilan keputusan maupun pewarisan tahta (Zulkarnain, 2012:7).  Patrimonialisme Jawa ini juga menggambarkan sistem kekuasaan yang berpusat pada satu orang penguasa yaitu raja, sedangkan yang lain mengidentifikasikan kepentinganya. Seorang membagikan sumber daya kekuasaannya kepada pihak yang dapat dipercaya dan memiliki pengaruh besar dimasyarakat untuk menjaga keberlangsungan dan stabilitas kekuasaanya. 
Konsep budaya politik patrimonialisme Jawa inilah yang kemudian diterapkan pada sistem birokrasi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jabatan dan keseluruhan hirarki birokrasi didasarkan atas hubungan garis keturunan ayah atau hubungan personal. Patrimonialisme pada birokrasi dibangun melalui rekrutmen abdi dalem (Jati, 2012:139). Raja yang juga sekaligus sebagai gubernur menggunakan birokrasi untuk memperkuat loyalitas masyarakat. Budaya politik inilah yang menciptakan sebuah simbiosis mutualisme dimana para birokrat membutuhkan gelar kerajaan untuk menaikkan status sosial dan Sultan sebagai raja dan sekaligus gubernur membutuhkan dukungan untuk menjaga stabilitas kekuasaannya. Konsep budaya politik inilah yang telah dimanifestasikan oleh para birokrat untuk mendukung Sultan menjadi gubernur dalam pembahasan UUK DIY.

Konsep Budaya Politik Lokal dan Sistem Birokrasi Lokal Masyarakat Jawa
            Budaya politik lokal yang berkembang di Indonesia adalah suatu warisan sosial yang terbentuk melalui perjalanan sejarah. Budaya politik lokal tersebut terbentuk dari serangkaian kepercayaan, kebiasaan, dan struktur soaial yang berkaitan dengan kehidupan politik masyarakat. Kepercayaan, kebiasaan, dan struktur sosial itulah yang menagaskan pola untuk bertingkah laku masyarakat, mana yang seharusnya dan tidak seharusnya untuk dilakukan. Batasan-batasan dalam budaya terbut dapat berasal darii agama, adat istiadat ataupun norma-norma yang berlaku di masyarakat. Budaya politik lokal ini, dapat dilihat pada kecenderungan perilaku yang tampak pada kehidupan politik masyarakat lokal itu sendiri.
            Perkembangan budaya politik lokal di Indonesia adalah sebagai reaksi adanya tekanan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat supralokal. Dalam hal ini, budaya politik lokal dipengaruhi oleh sistem kultural dan kepercayaan atau agama (Sjamsuddin, 1989:36-37). Ia berkembang dalam komunitas-komunitas tradisional yang mempunyai nilai-nilai positif yang patut dikembangkan dan tetap dipertahankan dalam penyelenggaraan sistem birokrasi lokal di daerah. Hal inilah yang menjadikan alasan adanya empat daerah yang diberikan keistimewaan oleh pemerintah pusat dalam menjalankan sistem birokrasi sesuai dengan budaya politik lokal yang dianut.
Pernyataan demikian itulah yang memberikan isyarat bahwa sistem birokrasi lokal berfungsi untuk membentuk nilai-nilai suatu budaya. Hal ini sesuai dengan tujuannya, yaitu sebagai prosedur, tata kelola, pandangan dan kebiasaan birokrasi lokal yang ditetapkan oleh nilai-nilai budaya tradisional.
Sistem birokrasi lokal sebagai lembaga yang dominan dalam kehidupan masyarakat modern, merupakan pembawa nilai-nilai dan berfungsi melestarikan nilai-nilai budaya lokal suatu daerah. (V.O. Key, Jr, 1942:180)

            Sistem demokrasi lokal adalah cerminan budaya politik suatu daerah, bahkkan menjadi aspek terpenting karena sistem birokrasi mempengaruhi seluruh bidang kehidupan politik masyarakat. Budaya demokrasi mempunyai hubungan yang kuat antara budaya politik lokal  dikarenakan pertama, birokrasi adalah institusi politik; kedua, budaya demokrasi mempunyai peranan penting dalam upaya memahami elit politik; dan ketiga, keberhasilan pembangunan daerah dipengaruhi oleh peranan sistem birokrasi setempat yang dijalankan.
Untuk membicarakan budaya politik masyarakat Jawa, kita harus mengetahui cara berpikir, bertindak dan bersikap orang jawa. Hal ini dikarenakan di dalam budaya Jawa terkandung banyak makna dan simbol-simbol baik itu lisan maupun tulisan. Terlebih arti dari kekuasaan yang dipahami masyarakat Jawa. Orang jawa mengenal tata berpikir yang berjenjang, yaitu nalar, manah dan menggalih. Nalar bila dikembalikan ke akar katanya yakni lar, berarti sayap. Jadi dengan nalar kita mendapatkan argumentasi, alasan, wawasan, penjelasan dan analisis. Manah berkaitan dengan hal-hal problematis yaitu menunju sasaran bidik yang tepat atau penyelesaian masalah. Sedangkan berpikir menggalih bersifat integraistis, komprehensif, multidisipliner dan multidimensional untuk mencaapai esensi (Hamengkubuwono X, 1991:200).
Terkait dengan masalah politik, hal ini termasuk dalam kategori manah yaitu bagaimana pamenthanging gandhewa/pamenthanging cipta. Sesuai dengan yang ditulis dalam legenda Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pamanahan. Giring diartikan sebagai kombinasi rasa dan perasaaan ke kalbu. Untuk menjadi pemanah, seseorang harus menjadi satriya (Hamengku buwono X, 1991:200-201). Hal ini dapat diartikan, bahwa untuk menjadi seorang pemimpin harus merakyat, takwa kepada Tuhan. dan harus mempunyai senjata berupa kekuatan atauu legitimasi. Legitimasi kekuasaan ini akan hilang apabila raja tidak menggunakan kekuasaannya untuk alam semesta.
Masyarakat jawa memiliki pemikiran bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan tuhan sebagai pusat segala kehidupan. Yang dimaksud dengan pusat adalah yang memberikan penghidupan, kestabilan, dan keseimbangan. Pandangan orang jawa itulah yang disebut kawula lan gusti yang artinya kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir itulah manusia menyerahkan diri secara total selaku kawula (hamba) terhadap gustinya (sang pencipta).
Pikiran orang Jawa tentang kehidupan manusia terbagi menjadi dua bagian yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Apa yang dimaksud makrokosmos adalah pikiran orang Jawa akan pandangan alam semesta yang penuh akan kekuatan misterius dan supranatural. Dalam makrokosmos yang menjadi pusat adalah Tuhan. Tuhan sebagai penguasa alam semesta yang memiliki kuasa penuh akan alam semesta. Lalu apa yang dimaksud dengan mikrokosmos, mikrokosmos adalah pandangan hidup tentang kehidupan nyata. Mikrokosmos menggambarkan kehidupan masyarakat dengana lingkungan yaitu tata kehidupannya, mengajarkan bagaimana kehidupan yang baik dan benar yang itu tergantung dengan batin dan jiwanya. Bagi orang jawa menggunakan pandagan mikrokosmos, pusat di dunia ada pada raja keraton. Tuhan sebagai pusat memiliki perwujudan tuhan di dunia yaitu raja. Jadi raja adalah sebagai pusat komunitas di dunia. Raja berhak memberikan perintah dan semua harus mematuhi karena raja adalah perwakilan Tuhan di dunia.
Konsep kekuasaan Jawa mengandung tiga unsur. Unsur pertama kekuasaan itu konkret. Bahwasannya kekuasaan itu diturunkan oleh Kang Murbeng Dumadi atas dasar wahyu kepada wakilnya. Ia juga menjelaskan bahwa budaya politik adalah kesakstian yang berasal dari wahyu, penuh misteri namun tetap konkret. Kedua, kekuasaan itu bersifat homogen yaitu bersifat satu dan sama. Karena dalam pandangan makrokosmos hanya tuhanlah pemimpin alam semesta ini dan tidak ada pemimpin selain tuhan. Sehingga konsekuensinya mengambil bentuk adanya konsentrasi kekuasaan yang mengharuskan pengurangan kekuasaan itu dinamakan asas tunggal. Ketiga, kekuasaan itu tidak mempersoalkan dari mana ia berasal. Yang terpenting adalah dalam penerapannya, legitimasi kekuasaan disesuaikan dengan budaya politik yang berkembang yang hirarkis dan mistis.
Dalam konsep kekuasaan Jawa, juga dikenal sistem politik patrimonial. Sistem patrimonial artinya sistem pewarisan berdasarkan garis keturanan ayah. Dengan demikian, pewarisan kekuasaan yang ada pada masyarakat Jawa didasarkan pada garis keturunan ayah bukan ibu. Posisi kamu lelaki menjadi bagian yang sangat penting dalam pengambilan keputusan maupun pewarisan tahta. Kaum wanita hanyalah sebagai bagian di bawah lelaki.
Dalam masyarakat Jawa lebih dikenal dengan sebutan teman belakang. Segala pewarisan sangat bergantung pada kaum lelaki (Zulkarnain, 2012:8). Laki-laki tidak hanya berkuasa di dalam keluarga melainkan dalam kerajaan. Berdasar itulah, yang penentuan status anak bukanlah berasal dari ibu melainkan dari ayah. Seorang putri bangsawan sekalipun jika hanya dijadikan sebagai selir, kebangsawanan anaknya bukan karena kebangsawanan ibu melainkan karena ayahnya.
Kekuasaan kerajaan yang bersifat patrimonial itulah yang menjadikan kekuasaan  raja-raja Jawa bersifat absolut artinya kekuasaan yang bersifat mutlak tanpa batas. Rakyat mengakui raja sebagai pemilik segala sesuatu, baik harta benda maupun jiwa manusia. Raja berhak menentukan hidup dan mati seseorang. Pada akhirnya rakyat sebagai posisi lemah selalu berprinsip nderek kersa dalem atau hanya sekedar ikut kemauan raja.
Pandangan-pandangan masyarakat Jawa itulah yang mempengaruhi perkembangan budaya politik masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang kemudian budaya tersebut diadopsi dalam  birokrasinya yang lebih condong kepada sistem monarki dan tidak demokratis.  Hal ini dikarenakan Sultan yang sekaligus Gubernur DIY secara turun menurun yang memegang dari kerajaan dan masyarakatnya percaya bahwa yang pantas menjadi gubernur adalah dari Kerajaan. Meskipun berbeda dari sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia, atas dasar latar belakang sejarahnya yang dinamis, Yogyakarta adalah salah satu dari empat daerah di Indonesia yang diberikan hak istimewa dan diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat atas asas desentralisasi untuk mengatur, mengelola, dan mengembangkan daerahnya sendiri.



Birokrasi di  Daerah Istimewa Yogyakarta dan Nilai Filosofisnya
            Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah satu-satunya kerajaan di jaman kolonial yang mampu dan berhasil mempertahankan diri dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini membuktikan bahwa Yogyakarta sebagai kesultanan tetpa mempunyai rakyat, wilayah, dan birokrasi pemerintahan yang keberadaannya diakui dan diberikan hak khusus sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta oleh peraturan perundang-undangan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Kepala daerah atau Gubernur adalah Sri Sultan Hamengku Buwono dan wakilnya adalah Sri Paku Alam (Suwarno, 1994:21). Pergantian kepemimpinannya ditetapkan oleh undang-undang diangkat dari anggota keluarga, keturunan dari ayah dengan syarat-syarat tertentu. Untuk birokrasi pemerintahannya disesuaikan dengan perkembangan jaman.
            Yogyakarta menganut sistem birokrasi patrimonaialisme. Sistem birokrasi patrimonialisme merupakan sentralisasi  kekuasaan yang berpusan pada satu orang penguasa yang mengakumulasikan kekuasaannya sedangkan yang lain hanya mengidentifikasikan kepentingannya. Seorang raja membagikan kekuasaanya kepada pihak yang dapat dipercaya dan mampu memberikan pengaruh besar di masyarakat untuk menjaga stabilitas dan kelangsungan kekuasaanya (Jati, 2012:142). Sehingga sistem ini memberikan keuntungan yang dipertahankan oleh kedua pihak.
            Budaya politik masyarakat Jawaadalah prismatik, dimana terjadi benturan antara nilai-nilai budaya modern dan nilai budaya tradisional yang masih kuat. Pola yang demikian inilah yang menjadikan karakter budaya politik di Daerah Istimewa Yogyakarta secara struktural tampak sebagai birokrasi modern, namun disisi lain, secara kultural birokrasi masih mencuatkan corak kuasa kerajaan dalam penyelenggaraan kekuasaannya. Menurut Raharjo (1998: 88-103), birokrasi di Yogyakarta sering di sebut sebagai birokrasi Mataraman. Hal ini dikarenakan selain masih menjunjung tinggi nilai-nilai kerajaan, ia juga mengatur norma, nilai dan prinsip yang berkembang di masyarakat melalui birokrasi oleh pihak kerajaan.
            Birokrasi patrimonialisme di Yogyakarta dibangun di atas prinsip priyayai-kawula. Priyayai adalah kelompok bangsawan yang bekerja sebagai pegawai birokrat kerajaan sedangkan kawula adalah rakyat biasa. Birokrasi priyayi dikembangkan pada model kepegawaian sipil kerajaan yang bernama praja. Praja inilah yang kemudian berkembang menjadi pangreh praja. pangreh praja ini merujuk pada kekuasaan raja yang dibentuk untuk menjaga stabilitas kukuasaan politis raja. Oleh karena Pangreh praja inilah yang menjadi corak birokrasi mataraman yang memanfaatkan politisasi kultur Jawa yang statis dan homogen (Jati, 2012:145).
            Dalam Kasultanan dan Kadipaten Yogyakarta, penetapan abdi dalem adalah cara yang dilakukan untuk mengikat masyarakat maupun birokrasi pemerintahan untuk menjadi bagian dari satu kesatuan sistem kerajaan. Hal ini dibuat agar kerajaan dapat mempertahankan struktur hierarkis kekuasaan dengan masyarakat Yogyakarta. Rekrutmen atau penetapan abdi dalem dalam birokrasi pemerintahan di Yogyakarta dilakukan melalui sekretaris kerajaan.  Hal ini dilakukan dengan adanya surat perintah agar Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan  Pemprov DIY  untuk menjadi abdi dalem keraton  Yogyakarta. Perintah yang demikian ini dilakukan selain untuk mempertahankan dan melestaraikan kebudayaan trdisional Yogyakarta, hal itu juga bisa menjadi teladan yang baik dalam lingkungan internal birokrasi maupun kepada masyarakat luas.
            Sistem rekrutmen yang demikian inilah yang semakin menegaskan bahwa struktur patrimonialsme semakin mendarah daging dalam kinerja birokrasi di lingkungan pemerintah provinsi Yogyakarta. Penetapan PNS sebagai abdi dalem inilah sebagai cara untuk mengukur loyalitas ataupun penerimaan masyarakat Yogyakarta terhadap kekuasaan Kasultanan maupun Kadipaten dalam menjalankan administrasi pemerintahan provinsi. Sehingga pegawai provinsi yang menjalankan fungsi abdi dalem di kerajaan merupakan simbol loyalitas dari kalangan birokrat.
            Abdi dalem adalah satu kesatuan dari Nagari Ngayogyakarta Hardiningrat (nama resmi Kasultanan Yogyakarta). Ia diwajibkan harus memiliki komitmen dalam menjalankan tugas, memiliki integritas moral, dan memiliki nurani yang bersih. Dualisme peran antara birokrat dan abdi dalem inilah yang kemudian menjadi ajang untuk menaikkan status sosial dalam masyarakat. Masyarakat Yogyakarta menilai menjadi birokrat dapat menaikkan citra dan pamor di lingkungan tempat tinggalnya. Terlebih jika para birokrat ini memperlihatkan simbol tradisoanal untuk memperkuat legitimasinya di mata masyarakat, dengan lambang Kasultanan Yogyakarta serta lukisan wayang (Jati, 2012:141). Hal ini sesuai dengan karakter orang Jawa yang cenderung mengejar status sosial dan status kebangsaan untuk mendapat mengakuan dari lingkungan sekitar.
            Dengan kapasitas Daerah Keistemewaan yang diberikan kepadanya, kerajaan dan sekaligus provinsi ini mebentuk suatu sistem birokrasi modern tetapi dengan tetap mempertahankan tradisi. Keberadaan ikatan modern dan tradisional dalam sistem birokrasinya, menjadikan pemerintahan Derah Istimewa Yogyakarta berbeda dengan daerah yang lainnya. dengan adanya pencampuran model tata kelola birokrasi ini, menjadikan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman tetap dikenal khususnya dalam menjaga kekuasaan patimoni dengan masyarakat, dan juga mengadopsi sistem birokrasi modern dalam menjalankan pemerintahan daerah.
Kesimpulan
            Budaya politik lokal mampu mempengaruhi sistem birokrasi suatu daerah. Sebagaimana konsep kekuasaan yang melekat pada masyarakat Jawa yang berpengaruh terhadap perkembangan budaya politik masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang kemudian budaya tersebut diadopsi dalam  birokrasinya yang lebih condong kepada sistem monarki dan tidak demokratis. Hal ini dikarenakan Sultan yang sekaligus Gubernur DIY secara turun menurun yang memegang dari kerajaan dan masyarakatnya percaya bahwa yang pantas menjadi gubernur adalah dari Kerajaan. Meskipun berbeda dari sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia, atas dasar latar belakang sejarahnya yang dinamis, Yogyakarta adalah salah satu dari empat daerah di Indonesia yang diberikan hak istimewa dan diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat atas asas desentralisasi untuk mengatur, mengelola, dan mengembangkan daerahnya sendiri.
Sebagai salah satu daerah yang diberikan keistimewaan, Yogyakarta mengembangkan sistem birokrasi campuran, yaitu birokrasi modern dan tradisional. Sinergi yang  terbangun dari dua pencampuran birokrasi itu semata-mata dilakukan Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekaligus sebagai kerajaan untuk memperkuat sitem patrimonialisme di era modern. Usaha yang dilakukan oleh Gubernur dan sekaligus sebagai raja dan sultan dalam Kasultanan Yogyakarta adalah dalam rangka untuk mempertahankan eksistensi kerajaan yang ada sejak jaman kolonialisme ini dengan mengkonversi nilai-nilai kultural ke dalam sistem birokrasi modern. Usaha yang demikian inilah yang menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai sistem pemerintahan yang modern namun tetap dibalut dengan nuansa tradisionalitas masyarakat Jawa. Keberadaan abdi dalem khususnya, sebagai fenomena riil sistem birokrasi yang mengikat berbagai sistem birokrasi yang lainnya. Keberadaan abdi dalem adalah simbol patrimoni yang berperan sebagai agen kekuasaan tradisional kerajaan di mata masyarakat. Oleh karena itu, birokrat kemudian menjadi penghubung antara kerajaan dengan kondisi masyarakat sekitarnya.
















Daftar Pustaka
Priyatmoko. 1991. Budaya Politik dan Birokrasi Lokal. dalam Nazaruddin Sjamsuddin. Profil Budaya Politik Indonesia. Jakarta: PT Temprint
Sjamsuddin, Nazaruddin. 1989. Integrasi Politik di Indonesia. Jakarta: Gramedia
V.O. Key, Jr. 1942. Politics and Administration dalam  Leonard D. White, (ed), The Future of Government in the United State. Chicago: University of Chicago Pers.
Suwarno, P. 1994. Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: Sebuah Tinjauan Historis. Yogyakarta: Kanisius
Hamengku Buwono X. 1991. Budaya Politik dalam Masyarakat Jawa.  Edited by Nazaruddin Sjamsuddin. Profil Budaya Politik Indonesia. Jakarta: PT Temprint
Raharjo.1998. Menyimak Kerancuan dalam Hubungan Lintas Struktur dan Kultur. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2 (1)
Jati, W. Raharjo. 2012. Kultur Birokrasi Partrimonialisme. Jurnal Borneo Administrator. Volume 8 No. 2. www.academia.edu/1887608/Kultur_Birokrasi_Ptrimonialisme_dalam_Pemerintah_Provinsi_Daerah_Yogyakarta (diakses tanggal 25 Desember, 2013)
Zulkarnain. 2012. Diktat Sejarah Politik. Universitas Negeri Yogyakarta: Kementian Pendidikan Nasional. www.staff.uny.ac.id/A.1.1.4.DIKTAT.pdf (diakses tanggal 25 Desember 2013)






No comments:

Post a Comment