Pengantar
Indonesia memiliki berbagai model
budaya politik lokal. Model budaya politik lokal yang ada di indonesia itulah,
yang akan mempengaruhi peranan birokrasi pemerintahan di beberapa daerah yang
diberikan hak istimewa. Model-model budaya politik lokal ini berkembang sebagai
reaksi dari adanya tekanan sosial, politik, dan ekonomi. Ia lahir dari adanya
interaksi antara pola tingkah laku dan pola untuk bertingkah laku dalam
masyarakat. Sementara itu, sistem birokrasi ada di tengah-tengah pola tingkah
laku masyarakat tersebut (Priyatmoko, 1991:252).
Budaya politik lokal tumbuh dan
berkembang pada kelompok-kelompok masyarakat yang mewariskan nilai-nilai
positif yang sama, sehingga harus dikembangkan dalam penyelenggraan
pemerintahan, khususnya pada sistem birokrasi di daerah (Priyatmoko, 1991:254).
Hal ini dikarenakan budaya politik lokal tersebut, mempunyai nilai sejarah
sebagai bentuk perjuangan untuk membentuk sistem politik, mempunyai cara
tersendiri untuk menyelesaikan persoalan-persoalan, dan juga adanya aspek-aspek
heroik yang membanggakan. Salah satunya contohnya adalah model budaya politik Jawa
dan nilai-nilai filosofis di dalamnya. Model budaya politik Jawa ini terkait
dengan sistem birokrasi lokal yang dianut oleh Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY).
Dalam konsep budaya politik Jawa,
dikenal sistem politik patrimonial.
Sistem patrimonial artinya sistem pewarisan berdasarkan garis keturunan ayah. Dengan
demikian, pewarisan kekuasaan yang ada pada masyarakat Jawa didasarkan pada garis
keturunan ayah bukan ibu. Posisi kaum lelaki menjadi bagian yang sangat penting
dalam pengambilan keputusan maupun pewarisan tahta (Zulkarnain, 2012:7). Patrimonialisme Jawa ini juga menggambarkan
sistem kekuasaan yang berpusat pada satu orang penguasa yaitu raja, sedangkan
yang lain mengidentifikasikan kepentinganya. Seorang membagikan sumber daya kekuasaannya
kepada pihak yang dapat dipercaya dan memiliki pengaruh besar dimasyarakat
untuk menjaga keberlangsungan dan stabilitas kekuasaanya.
Konsep budaya politik patrimonialisme
Jawa inilah yang kemudian diterapkan pada sistem birokrasi di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Jabatan dan keseluruhan hirarki birokrasi didasarkan atas hubungan
garis keturunan ayah atau hubungan personal. Patrimonialisme pada birokrasi
dibangun melalui rekrutmen abdi dalem
(Jati, 2012:139). Raja yang juga sekaligus sebagai gubernur menggunakan
birokrasi untuk memperkuat loyalitas masyarakat. Budaya politik inilah yang
menciptakan sebuah simbiosis mutualisme dimana para birokrat membutuhkan gelar
kerajaan untuk menaikkan status sosial dan Sultan sebagai raja dan sekaligus
gubernur membutuhkan dukungan untuk menjaga stabilitas kekuasaannya. Konsep
budaya politik inilah yang telah dimanifestasikan oleh para birokrat untuk
mendukung Sultan menjadi gubernur dalam pembahasan UUK DIY.
Konsep Budaya Politik Lokal dan Sistem Birokrasi
Lokal Masyarakat Jawa
Budaya politik lokal
yang berkembang di Indonesia adalah suatu warisan sosial yang terbentuk melalui
perjalanan sejarah. Budaya politik lokal tersebut terbentuk dari serangkaian
kepercayaan, kebiasaan, dan struktur soaial yang berkaitan dengan kehidupan
politik masyarakat. Kepercayaan, kebiasaan, dan struktur sosial itulah yang
menagaskan pola untuk bertingkah laku masyarakat, mana yang seharusnya dan
tidak seharusnya untuk dilakukan. Batasan-batasan dalam budaya terbut dapat
berasal darii agama, adat istiadat ataupun norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Budaya politik lokal ini, dapat dilihat pada kecenderungan perilaku
yang tampak pada kehidupan politik masyarakat lokal itu sendiri.
Perkembangan budaya politik lokal di
Indonesia adalah sebagai reaksi adanya tekanan sosial, politik, dan ekonomi
masyarakat supralokal. Dalam hal ini, budaya politik lokal dipengaruhi oleh
sistem kultural dan kepercayaan atau agama (Sjamsuddin, 1989:36-37). Ia
berkembang dalam komunitas-komunitas tradisional yang mempunyai nilai-nilai
positif yang patut dikembangkan dan tetap dipertahankan dalam penyelenggaraan
sistem birokrasi lokal di daerah. Hal inilah yang menjadikan alasan adanya
empat daerah yang diberikan keistimewaan oleh pemerintah pusat dalam
menjalankan sistem birokrasi sesuai dengan budaya politik lokal yang dianut.
Pernyataan
demikian itulah yang memberikan isyarat bahwa sistem birokrasi lokal berfungsi
untuk membentuk nilai-nilai suatu budaya. Hal ini sesuai dengan tujuannya,
yaitu sebagai prosedur, tata
kelola, pandangan dan kebiasaan birokrasi lokal yang ditetapkan oleh
nilai-nilai budaya tradisional.
Sistem birokrasi lokal sebagai lembaga yang dominan dalam kehidupan
masyarakat modern, merupakan pembawa nilai-nilai dan berfungsi melestarikan
nilai-nilai budaya lokal suatu daerah. (V.O. Key, Jr, 1942:180)
Sistem demokrasi lokal adalah
cerminan budaya politik suatu daerah, bahkkan menjadi aspek terpenting karena
sistem birokrasi mempengaruhi seluruh bidang kehidupan politik masyarakat.
Budaya demokrasi mempunyai hubungan yang kuat antara budaya politik lokal dikarenakan pertama, birokrasi adalah
institusi politik; kedua, budaya demokrasi mempunyai peranan penting dalam
upaya memahami elit politik; dan ketiga, keberhasilan pembangunan daerah
dipengaruhi oleh peranan sistem birokrasi setempat yang dijalankan.
Untuk membicarakan budaya politik masyarakat Jawa,
kita harus mengetahui cara berpikir, bertindak dan bersikap orang jawa. Hal ini
dikarenakan di dalam budaya Jawa terkandung banyak makna dan simbol-simbol baik
itu lisan maupun tulisan. Terlebih arti dari kekuasaan yang dipahami masyarakat
Jawa. Orang jawa mengenal tata berpikir yang berjenjang, yaitu nalar, manah dan
menggalih. Nalar bila dikembalikan ke akar katanya yakni lar, berarti sayap. Jadi dengan nalar kita mendapatkan argumentasi,
alasan, wawasan, penjelasan dan analisis. Manah berkaitan dengan hal-hal
problematis yaitu menunju sasaran bidik yang tepat atau penyelesaian masalah.
Sedangkan berpikir menggalih bersifat integraistis, komprehensif,
multidisipliner dan multidimensional untuk mencaapai esensi (Hamengkubuwono X,
1991:200).
Terkait dengan masalah politik, hal ini termasuk
dalam kategori manah yaitu bagaimana pamenthanging
gandhewa/pamenthanging cipta. Sesuai dengan yang ditulis dalam legenda Ki
Ageng Giring dan
Ki Ageng Pamanahan.
Giring diartikan sebagai kombinasi rasa dan perasaaan ke kalbu. Untuk menjadi
pemanah, seseorang harus menjadi satriya (Hamengku buwono X, 1991:200-201). Hal
ini dapat diartikan, bahwa untuk menjadi seorang pemimpin harus merakyat, takwa
kepada Tuhan. dan
harus mempunyai senjata
berupa kekuatan atauu legitimasi. Legitimasi kekuasaan ini akan hilang apabila
raja tidak menggunakan kekuasaannya untuk alam semesta.
Masyarakat jawa memiliki pemikiran bahwa Tuhan
adalah pusat alam semesta dan tuhan sebagai pusat segala kehidupan. Yang
dimaksud dengan pusat adalah yang memberikan penghidupan, kestabilan, dan
keseimbangan. Pandangan orang jawa itulah yang disebut kawula lan gusti yang
artinya kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan
terakhir dan pada kesatuan terakhir itulah manusia menyerahkan diri secara
total selaku kawula (hamba) terhadap gustinya (sang pencipta).
Pikiran orang Jawa
tentang kehidupan manusia terbagi menjadi dua bagian yaitu makrokosmos dan
mikrokosmos. Apa yang dimaksud makrokosmos adalah pikiran orang Jawa akan pandangan alam
semesta yang penuh akan kekuatan misterius dan supranatural. Dalam makrokosmos
yang menjadi pusat adalah Tuhan. Tuhan sebagai penguasa alam semesta yang
memiliki kuasa penuh akan alam semesta. Lalu apa yang dimaksud dengan
mikrokosmos, mikrokosmos adalah pandangan hidup tentang kehidupan nyata.
Mikrokosmos menggambarkan kehidupan masyarakat dengana lingkungan yaitu tata
kehidupannya, mengajarkan bagaimana kehidupan yang baik dan benar yang itu tergantung
dengan batin dan jiwanya. Bagi orang jawa menggunakan pandagan mikrokosmos,
pusat di dunia ada pada raja keraton. Tuhan sebagai pusat memiliki perwujudan
tuhan di dunia yaitu raja. Jadi raja adalah sebagai pusat komunitas di dunia.
Raja berhak memberikan perintah dan semua harus mematuhi karena raja adalah
perwakilan Tuhan di dunia.
Konsep kekuasaan Jawa mengandung tiga unsur. Unsur
pertama kekuasaan itu konkret. Bahwasannya kekuasaan itu diturunkan oleh Kang
Murbeng Dumadi atas dasar wahyu kepada wakilnya. Ia juga menjelaskan bahwa
budaya politik adalah kesakstian yang berasal dari wahyu, penuh misteri namun
tetap konkret. Kedua, kekuasaan itu bersifat homogen yaitu bersifat satu dan
sama. Karena dalam pandangan makrokosmos hanya tuhanlah pemimpin alam semesta
ini dan tidak ada pemimpin selain tuhan. Sehingga konsekuensinya mengambil
bentuk adanya konsentrasi kekuasaan yang mengharuskan pengurangan kekuasaan itu
dinamakan asas tunggal. Ketiga, kekuasaan itu tidak mempersoalkan dari mana ia
berasal. Yang terpenting adalah dalam penerapannya, legitimasi kekuasaan
disesuaikan dengan budaya politik yang berkembang yang hirarkis dan mistis.
Dalam konsep kekuasaan Jawa, juga dikenal
sistem politik patrimonial.
Sistem patrimonial artinya sistem pewarisan berdasarkan garis keturanan ayah.
Dengan demikian, pewarisan kekuasaan yang ada pada masyarakat Jawa didasarkan
pada garis keturunan ayah bukan ibu. Posisi kamu lelaki menjadi bagian yang
sangat penting dalam pengambilan keputusan maupun pewarisan tahta. Kaum wanita
hanyalah sebagai bagian di bawah lelaki.
Dalam masyarakat Jawa lebih dikenal dengan
sebutan teman belakang. Segala pewarisan sangat bergantung pada kaum lelaki
(Zulkarnain, 2012:8). Laki-laki tidak hanya berkuasa di dalam keluarga
melainkan dalam kerajaan. Berdasar itulah, yang penentuan status anak bukanlah
berasal dari ibu melainkan dari ayah. Seorang putri bangsawan sekalipun jika
hanya dijadikan sebagai selir, kebangsawanan anaknya bukan karena kebangsawanan
ibu melainkan karena ayahnya.
Kekuasaan kerajaan yang bersifat
patrimonial itulah yang menjadikan kekuasaan raja-raja Jawa bersifat absolut artinya kekuasaan
yang bersifat mutlak tanpa batas. Rakyat mengakui raja sebagai pemilik segala
sesuatu, baik harta benda maupun jiwa manusia. Raja berhak menentukan hidup dan
mati seseorang. Pada akhirnya rakyat sebagai posisi lemah selalu berprinsip nderek
kersa dalem atau hanya sekedar ikut kemauan raja.
Pandangan-pandangan masyarakat Jawa itulah yang mempengaruhi
perkembangan budaya politik masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang
kemudian budaya tersebut diadopsi dalam birokrasinya yang lebih condong kepada sistem
monarki dan tidak demokratis. Hal ini
dikarenakan Sultan yang sekaligus Gubernur DIY secara turun menurun yang
memegang dari kerajaan dan masyarakatnya percaya bahwa yang pantas menjadi
gubernur adalah dari Kerajaan. Meskipun berbeda dari sistem demokrasi yang
dianut oleh Indonesia, atas dasar latar belakang sejarahnya yang dinamis,
Yogyakarta adalah salah satu dari empat daerah di Indonesia yang diberikan hak
istimewa dan diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat atas asas
desentralisasi untuk mengatur, mengelola, dan mengembangkan daerahnya sendiri.
Birokrasi
di Daerah Istimewa Yogyakarta
dan Nilai Filosofisnya
Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) adalah satu-satunya kerajaan di jaman kolonial yang mampu dan
berhasil mempertahankan diri dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hal ini membuktikan bahwa Yogyakarta sebagai kesultanan tetpa mempunyai rakyat,
wilayah, dan birokrasi pemerintahan yang keberadaannya diakui dan diberikan hak
khusus sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta oleh peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Kepala daerah atau Gubernur adalah Sri
Sultan Hamengku Buwono dan wakilnya adalah Sri Paku Alam (Suwarno, 1994:21).
Pergantian kepemimpinannya ditetapkan oleh undang-undang diangkat dari anggota
keluarga, keturunan dari ayah dengan syarat-syarat tertentu. Untuk birokrasi
pemerintahannya disesuaikan dengan perkembangan jaman.
Yogyakarta menganut sistem birokrasi
patrimonaialisme. Sistem birokrasi patrimonialisme merupakan sentralisasi kekuasaan yang berpusan pada satu orang
penguasa yang mengakumulasikan kekuasaannya sedangkan yang lain hanya
mengidentifikasikan kepentingannya. Seorang raja membagikan kekuasaanya kepada
pihak yang dapat dipercaya dan mampu memberikan pengaruh besar di masyarakat
untuk menjaga stabilitas dan kelangsungan kekuasaanya (Jati, 2012:142).
Sehingga sistem ini memberikan keuntungan yang dipertahankan oleh kedua pihak.
Budaya politik masyarakat Jawaadalah
prismatik, dimana terjadi benturan antara nilai-nilai budaya modern dan nilai
budaya tradisional yang masih kuat. Pola yang demikian inilah yang menjadikan
karakter budaya politik di Daerah Istimewa Yogyakarta secara struktural tampak
sebagai birokrasi modern, namun disisi lain, secara kultural birokrasi masih
mencuatkan corak kuasa kerajaan dalam penyelenggaraan kekuasaannya. Menurut Raharjo
(1998: 88-103), birokrasi di Yogyakarta sering di sebut sebagai birokrasi
Mataraman. Hal ini dikarenakan selain masih menjunjung tinggi nilai-nilai
kerajaan, ia juga mengatur norma, nilai dan prinsip yang berkembang di
masyarakat melalui birokrasi oleh pihak kerajaan.
Birokrasi patrimonialisme di Yogyakarta
dibangun di atas prinsip priyayai-kawula. Priyayai adalah kelompok bangsawan
yang bekerja sebagai pegawai birokrat kerajaan sedangkan kawula adalah rakyat
biasa. Birokrasi priyayi dikembangkan pada model kepegawaian sipil kerajaan
yang bernama praja. Praja inilah yang kemudian berkembang
menjadi pangreh praja. pangreh praja ini merujuk pada kekuasaan
raja yang dibentuk untuk menjaga stabilitas kukuasaan politis raja. Oleh karena Pangreh praja inilah yang menjadi corak
birokrasi mataraman yang memanfaatkan politisasi kultur Jawa yang statis dan
homogen (Jati, 2012:145).
Dalam Kasultanan dan Kadipaten
Yogyakarta, penetapan abdi dalem
adalah cara yang dilakukan untuk mengikat masyarakat maupun birokrasi
pemerintahan untuk menjadi bagian dari satu kesatuan sistem kerajaan. Hal ini
dibuat agar kerajaan dapat mempertahankan struktur hierarkis kekuasaan dengan
masyarakat Yogyakarta. Rekrutmen atau penetapan abdi dalem dalam birokrasi pemerintahan di Yogyakarta dilakukan
melalui sekretaris kerajaan. Hal ini dilakukan
dengan adanya surat perintah agar Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemprov DIY
untuk menjadi abdi dalem keraton
Yogyakarta. Perintah yang demikian ini dilakukan selain untuk
mempertahankan dan melestaraikan kebudayaan trdisional Yogyakarta, hal itu juga
bisa menjadi teladan yang baik dalam lingkungan internal birokrasi maupun
kepada masyarakat luas.
Sistem rekrutmen yang demikian
inilah yang semakin menegaskan bahwa struktur patrimonialsme semakin mendarah
daging dalam kinerja birokrasi di lingkungan pemerintah provinsi Yogyakarta.
Penetapan PNS sebagai abdi dalem
inilah sebagai cara untuk mengukur loyalitas ataupun penerimaan masyarakat
Yogyakarta terhadap kekuasaan Kasultanan maupun Kadipaten dalam menjalankan
administrasi pemerintahan provinsi. Sehingga pegawai provinsi yang menjalankan
fungsi abdi dalem di kerajaan
merupakan simbol loyalitas dari kalangan birokrat.
Abdi dalem adalah satu kesatuan dari
Nagari Ngayogyakarta Hardiningrat
(nama resmi Kasultanan Yogyakarta). Ia diwajibkan harus memiliki komitmen dalam
menjalankan tugas, memiliki integritas moral, dan memiliki nurani yang bersih.
Dualisme peran antara birokrat dan abdi dalem inilah yang kemudian menjadi
ajang untuk menaikkan status sosial dalam masyarakat. Masyarakat Yogyakarta
menilai menjadi birokrat dapat menaikkan citra dan pamor di lingkungan tempat
tinggalnya. Terlebih jika para birokrat ini memperlihatkan simbol tradisoanal
untuk memperkuat legitimasinya di mata masyarakat, dengan lambang Kasultanan
Yogyakarta serta lukisan wayang (Jati, 2012:141). Hal ini sesuai dengan
karakter orang Jawa yang cenderung mengejar status sosial dan status kebangsaan
untuk mendapat mengakuan dari lingkungan sekitar.
Dengan kapasitas Daerah Keistemewaan
yang diberikan kepadanya, kerajaan dan sekaligus provinsi ini mebentuk suatu
sistem birokrasi modern tetapi dengan tetap mempertahankan tradisi. Keberadaan
ikatan modern dan tradisional dalam sistem birokrasinya, menjadikan
pemerintahan Derah Istimewa Yogyakarta berbeda dengan daerah yang lainnya. dengan
adanya pencampuran model tata kelola birokrasi ini, menjadikan Kasultanan
Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman tetap dikenal khususnya dalam menjaga
kekuasaan patimoni dengan masyarakat, dan juga mengadopsi sistem birokrasi
modern dalam menjalankan pemerintahan daerah.
Kesimpulan
Budaya politik lokal mampu
mempengaruhi sistem birokrasi suatu daerah. Sebagaimana konsep kekuasaan yang
melekat pada masyarakat Jawa yang berpengaruh terhadap perkembangan budaya
politik masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang kemudian budaya
tersebut diadopsi dalam birokrasinya
yang lebih condong kepada sistem monarki dan tidak demokratis. Hal ini
dikarenakan Sultan yang sekaligus Gubernur DIY secara turun menurun yang
memegang dari kerajaan dan masyarakatnya percaya bahwa yang pantas menjadi
gubernur adalah dari Kerajaan. Meskipun berbeda dari sistem demokrasi yang
dianut oleh Indonesia, atas dasar latar belakang sejarahnya yang dinamis,
Yogyakarta adalah salah satu dari empat daerah di Indonesia yang diberikan hak
istimewa dan diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat atas asas
desentralisasi untuk mengatur, mengelola, dan mengembangkan daerahnya sendiri.
Sebagai salah satu daerah yang diberikan
keistimewaan, Yogyakarta mengembangkan sistem birokrasi campuran, yaitu
birokrasi modern dan tradisional. Sinergi yang
terbangun dari dua pencampuran birokrasi itu semata-mata dilakukan
Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekaligus sebagai kerajaan untuk memperkuat
sitem patrimonialisme di era modern. Usaha yang dilakukan oleh Gubernur dan
sekaligus sebagai raja dan sultan dalam Kasultanan Yogyakarta adalah dalam
rangka untuk mempertahankan eksistensi kerajaan yang ada sejak jaman
kolonialisme ini dengan mengkonversi nilai-nilai kultural ke dalam sistem
birokrasi modern. Usaha yang demikian inilah yang menjadikan Daerah Istimewa
Yogyakarta sebagai sistem pemerintahan yang modern namun tetap dibalut dengan
nuansa tradisionalitas masyarakat Jawa. Keberadaan abdi dalem khususnya, sebagai fenomena riil sistem birokrasi yang
mengikat berbagai sistem birokrasi yang lainnya. Keberadaan abdi dalem adalah simbol patrimoni yang
berperan sebagai agen kekuasaan tradisional kerajaan di mata masyarakat. Oleh
karena itu, birokrat kemudian menjadi penghubung antara kerajaan dengan kondisi
masyarakat sekitarnya.
Daftar Pustaka
Priyatmoko.
1991. Budaya Politik dan Birokrasi Lokal. dalam
Nazaruddin Sjamsuddin. Profil Budaya
Politik Indonesia. Jakarta: PT Temprint
Sjamsuddin,
Nazaruddin. 1989. Integrasi Politik di
Indonesia. Jakarta: Gramedia
V.O.
Key, Jr. 1942. Politics and
Administration dalam Leonard D.
White, (ed), The Future of Government in
the United State. Chicago: University of Chicago Pers.
Suwarno,
P. 1994. Hamengku Buwono IX dan Sistem
Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: Sebuah Tinjauan Historis.
Yogyakarta: Kanisius
Hamengku
Buwono X. 1991. Budaya Politik dalam Masyarakat Jawa. Edited by Nazaruddin Sjamsuddin. Profil Budaya Politik Indonesia.
Jakarta: PT Temprint
Raharjo.1998.
Menyimak Kerancuan dalam Hubungan Lintas Struktur dan Kultur. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2 (1)
Jati,
W. Raharjo. 2012. Kultur Birokrasi Partrimonialisme. Jurnal Borneo Administrator. Volume 8 No. 2. www.academia.edu/1887608/Kultur_Birokrasi_Ptrimonialisme_dalam_Pemerintah_Provinsi_Daerah_Yogyakarta
(diakses tanggal 25 Desember, 2013)
Zulkarnain.
2012. Diktat Sejarah Politik.
Universitas Negeri Yogyakarta: Kementian Pendidikan Nasional. www.staff.uny.ac.id/A.1.1.4.DIKTAT.pdf
(diakses tanggal 25 Desember 2013)
No comments:
Post a Comment