Thursday, 24 September 2015

Surabaya Kota Metropolitan: Masih Banggakah dengan Kegemerlapan dan Kemewahan Kota Surabaya?


Pesatnya pembangunan di kota Surabaya tentu saja membuat kita bangga menjadi warga yang tinggal di kota ini. Banyaknya pusat perbelanjaan modern, pusat bisnis dan semua fasilitas umum lainnya, semakin memberikan kita kemudahan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Begitupula dengan semakin meningkatnya pembangunan hunian mewah yang juga semakin menonjolkan cermin modernitas. Namun tanpa kita sadari semua kegemerlapan yang kita lihat di kota ini, adalah simbol dari neoimperialisme atau penjajahan dalam bentuk yang baru.


Pertama, pada sisi proses politik. Politik yang pada mulanya ditujukan untuk kebaikan dan kepentingan bersama, justru dijadikan motif atas kebaikan dan kepentingan beberapa orang saja. Hal ini tercermin dari Peraturan Daerah (Perda) kota Surabaya tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya Tahun 2010-2030 yang terkesan memberikan peluang bagi para investor untuk melakukan pengembangan bisnis dan hunian di sekitar kawasan lindung. Fenomena ini dapat kita lihat dari adanya pembebasan lahan untuk kawasan bisnis dan perumahan atas Ciputra Group oleh pemerintah di Kawasan budidaya Mangrove Surabaya Timur. Kawasan yang dulunya dijaga ketat pemerintah dan dilarang untuk segala macam pembangunan, dikarenakan berfungsi sebagai daerah resapan dan penyangga air laut di sepanjang pantai, kini kita harus meyaksikan ekosistem ini harus dikorbankan hanya demi tawar menawar politik antara pemerintah dan investor yang menguntungkan beberapa pihak saja. Jika demikian, siapa yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan jika kota ini mengalami degradasi atau penurunan tanah di setiap tahunnya.

Kedua, dari sisi kepemilikan lahan/pemukiman. Pembangunan di kota Surabaya tentunya telah melibatkan dan mengorbankan banyak pihak. Salah satunya adalah kepemilikan lahan/pemukiman warga setempat yang harus dengan rela tergusur hanya untuk program pembangunan yang dibuat oleh pemerintah. Salah satu contohnya adalah program pembangunan MERR yang harus mengorbankan pemukiman warga kelurahan Deles yang sekarang menjadi terusan jalan Ir. H. Soekarno. Meskipun diberikan ganti rugi atas penggusuran lahan/pemukiman tersebut, hal ini tentunya tidak sepadan dengan prospek bisnis yang hadir setelah proses penggusuran ini. Banyak investor yang diuntungkan atas program pembangunan MERR ini karena selain memberikan kemudahan akses untuk mobilisasi juga memberikan peluang bisnis seperti restoran, hotel, ataupun Apartemen di sepanjang jalur ini. Berbeda halnya dengan warga yang digusur lahan/pemukimannya, mereka harus rela meninggalkan lahan/pemukimannya dan pindah ke wilayah yang jauh dari pusat keramaian kota karena dana ganti rugi lahan/pemukiman mereka tidak akan pernah sepadan dengan harga beli tanah di tempat mereka sebelumnya. Selain itu, mereka harus rela kehilangan memori dan tempat menggantungkan hidup di lahan/pemukiman mereka sebelumnya.

Ketiga, dari sisi kemanusiaan. Seakan kita tercengang dengan kemewahan yang disuguhkan kepada mata kita ketika melihat hunian-hunian mewah nan megah dengan sistem pengamanan yang cukup ketat. Begitupula dengan semakin menjulang tingginya apartemen, hotel dan mall. Tanpa kita sadari dibalik kebanggaan kita atas semua itu, ada sisi yang juga harus kita perhatikan lebih mendalam. Sisi itu adalah warga pribumi, masyarakat lokal yang diperkerjakan di dalamnya. Penjaga keamanan, tukang sapu, pembantu, cleaning service, dan berbagai pekerjaan rendah lainnya dikerjakan oleh masayarakat lokal yang notabene hanya bisa menggantungkan hidup dari kemegahan itu tanpa bisa memilikinya.

Dari semua hal yang telah dijelakan di atas, semua keuntungan dan akumulasi modal tentunya hanya kepada mereka yang punya kepentingan di atas proyek-proyek pembangunan di kota Surabaya ini. Meskipun kita bisa merasakan bentuk kegemerlapan dan kewahan pembangunan di kota ini, namun semua itu hanya sebatas cara mereka agar kita punya pandangan yang sama dengan mereka dan  mendukung ide-ide imperialisme mereka tanpa harus kita sadari dampak apa yang akan ditimbulkan atas kepentingan mereka terhadap diri kita masyarakat lokal kelas bawah.

Jadi, masikah kita bangga dengan kegemerlamapan dan kemewahan yang dimiliki kota ini?”.

Penulis: Istianatul Mauliddia
Mahasiswa Ilmu Politik

5 comments:

  1. Terkadang juga saya merasa seperti apa yang dituliskan dalam artikel ini

    ReplyDelete
  2. Banya Gedung Tinggi, tapi ingat itu bukan milik kita

    ReplyDelete
  3. melihat Pakuwon sekarang sungguh sedih, dulunya sebagai wilayah konservasi hutan bakau, sekarang menjadi perumahan mewah.

    ReplyDelete
  4. Jancok coba lah lihat sepanjang jalan prapen dipenuhi hotel-hotel baru dan hotel itu berderet dengan jarak yang sangat dekat. kalah indomart, alfamart. garai macet ae

    ReplyDelete
  5. Surabaya isine wong cino tok sing menguasai

    ReplyDelete