Pesatnya pembangunan di
kota Surabaya tentu saja membuat kita bangga menjadi warga yang tinggal di kota
ini. Banyaknya pusat perbelanjaan modern, pusat bisnis dan semua fasilitas umum
lainnya, semakin memberikan kita kemudahan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Begitupula dengan semakin meningkatnya pembangunan hunian mewah yang juga
semakin menonjolkan cermin modernitas. Namun tanpa kita sadari semua
kegemerlapan yang kita lihat di kota ini, adalah simbol dari neoimperialisme
atau penjajahan dalam bentuk yang baru.
Pertama, pada sisi
proses politik. Politik yang pada mulanya ditujukan untuk kebaikan dan
kepentingan bersama, justru dijadikan motif atas kebaikan dan kepentingan
beberapa orang saja. Hal ini tercermin dari Peraturan Daerah (Perda) kota
Surabaya tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya Tahun 2010-2030 yang
terkesan memberikan peluang bagi para investor untuk melakukan pengembangan
bisnis dan hunian di sekitar kawasan lindung. Fenomena ini dapat kita lihat
dari adanya pembebasan lahan untuk kawasan bisnis dan perumahan atas Ciputra
Group oleh pemerintah di Kawasan budidaya Mangrove Surabaya Timur. Kawasan yang
dulunya dijaga ketat pemerintah dan dilarang untuk segala macam pembangunan,
dikarenakan berfungsi sebagai daerah resapan dan penyangga air laut di
sepanjang pantai, kini kita harus meyaksikan ekosistem ini harus dikorbankan
hanya demi tawar menawar politik antara pemerintah dan investor yang
menguntungkan beberapa pihak saja. Jika demikian, siapa yang harus bertanggung
jawab atas kerugian yang ditimbulkan jika kota ini mengalami degradasi atau
penurunan tanah di setiap tahunnya.
Kedua, dari sisi
kepemilikan lahan/pemukiman. Pembangunan di kota Surabaya tentunya telah
melibatkan dan mengorbankan banyak pihak. Salah satunya adalah kepemilikan lahan/pemukiman
warga setempat yang harus dengan rela tergusur hanya untuk program pembangunan
yang dibuat oleh pemerintah. Salah satu contohnya adalah program pembangunan
MERR yang harus mengorbankan pemukiman warga kelurahan Deles yang sekarang
menjadi terusan jalan Ir. H. Soekarno. Meskipun diberikan ganti rugi atas
penggusuran lahan/pemukiman tersebut, hal ini tentunya tidak sepadan dengan
prospek bisnis yang hadir setelah proses penggusuran ini. Banyak investor yang
diuntungkan atas program pembangunan MERR ini karena selain memberikan
kemudahan akses untuk mobilisasi juga memberikan peluang bisnis seperti
restoran, hotel, ataupun Apartemen di sepanjang jalur ini. Berbeda halnya
dengan warga yang digusur lahan/pemukimannya, mereka harus rela meninggalkan lahan/pemukimannya
dan pindah ke wilayah yang jauh dari pusat keramaian kota karena dana ganti
rugi lahan/pemukiman mereka tidak akan pernah sepadan dengan harga beli tanah
di tempat mereka sebelumnya. Selain itu, mereka harus rela kehilangan memori
dan tempat menggantungkan hidup di lahan/pemukiman mereka sebelumnya.
Ketiga, dari sisi
kemanusiaan. Seakan kita tercengang dengan kemewahan yang disuguhkan kepada
mata kita ketika melihat hunian-hunian mewah nan megah dengan sistem pengamanan
yang cukup ketat. Begitupula dengan semakin menjulang tingginya apartemen,
hotel dan mall. Tanpa kita sadari dibalik kebanggaan kita atas semua itu, ada
sisi yang juga harus kita perhatikan lebih mendalam. Sisi itu adalah warga
pribumi, masyarakat lokal yang diperkerjakan di dalamnya. Penjaga keamanan,
tukang sapu, pembantu, cleaning service, dan berbagai pekerjaan rendah lainnya
dikerjakan oleh masayarakat lokal yang notabene hanya bisa menggantungkan hidup
dari kemegahan itu tanpa bisa memilikinya.
Dari semua hal yang telah
dijelakan di atas, semua keuntungan dan akumulasi modal tentunya hanya kepada
mereka yang punya kepentingan di atas proyek-proyek pembangunan di kota
Surabaya ini. Meskipun kita bisa merasakan bentuk kegemerlapan dan kewahan
pembangunan di kota ini, namun semua itu hanya sebatas cara mereka agar kita
punya pandangan yang sama dengan mereka dan
mendukung ide-ide imperialisme mereka tanpa harus kita sadari dampak apa
yang akan ditimbulkan atas kepentingan mereka terhadap diri kita masyarakat
lokal kelas bawah.
“ Jadi, masikah kita
bangga dengan kegemerlamapan dan kemewahan yang dimiliki kota ini?”.
Penulis: Istianatul
Mauliddia
Mahasiswa Ilmu Politik
Terkadang juga saya merasa seperti apa yang dituliskan dalam artikel ini
ReplyDeleteBanya Gedung Tinggi, tapi ingat itu bukan milik kita
ReplyDeletemelihat Pakuwon sekarang sungguh sedih, dulunya sebagai wilayah konservasi hutan bakau, sekarang menjadi perumahan mewah.
ReplyDeleteJancok coba lah lihat sepanjang jalan prapen dipenuhi hotel-hotel baru dan hotel itu berderet dengan jarak yang sangat dekat. kalah indomart, alfamart. garai macet ae
ReplyDeleteSurabaya isine wong cino tok sing menguasai
ReplyDelete