Indonesia adalah negara
yang masyarakatnya memiliki beraneka ragam karateristik budaya dan adat
istiadat yang menghasilkan kultur yang berbeda pada setiap masyarakat
Indonesia. Masing-masing adat istiadat memiliki nilai moral tersendiri yang
harus dipatuhi setiap masyarakatnya. Nilai moral pada setiap adat membentuk
kontruksi sosial pada masyarakatnya. Kontruksi sosial akan mengatur tata cara
kehidupan seperti apa yang tidak pantas dan apa yang pantas dan apa yang
seharusnya dan apa yang tidak seharusnya di dalam kehidupan bermasyarakat.
Kontruksi sosial yang
ada di dalam masyarakat Jawa contohnya yang mengatur tatanan sosial antara
laki-laki dan wanita. Kontruksi sosial yang ada di masyarakat Jawa menempatkan
wanita selalu dibawah laki-laki. Filosofi Jawa mengatakan bahwa wanita dalam
bahasa Jawa yang memiliki arti bahwa wanita “wani ditoto” sehingga wanita harus
menuruti semua apa yang diperintahkan oleh laki-laki (suaminya). Wanita hanya
di jadikan objek saja dalam kehidupan tatatan sosial masyarakat jawa.
Akibat dari kontruksi sosial tersebut, wanita banyak yang tidak mendapatkan hak seperti apa yang didapatkan oleh laki-laki. Wanita tidak diperbolehkan mendapatkan pendidikan yang layak seperti halnya laki-laki. Meraka hanya diperbolehkan berurusan dengan kegiatan seputar rumah tangga seperti masak, merawat anak dan melayani suami. Wanita seperti halnya kaum yang termarginalkan karena hidupnya dipenuhi dengan tekanan dan ketidakbebasan dalam hak yang seharusnya mereka dapatkan.
Proses
demokratisasi pelan-pelan memberikan
pencerahan terhadap kaum wanita di Indonesia untuk memberikan kesetaraan hak
dalam kehidupan sosial ataupun politik. Adanaya demokartisasi memberikan celah
faham-faham gerakan feminisme liberal masuk kedalam tatanan masyarakat
Indonesia yang secara tidak langsung memepengaruhi pemikiran-pemikiran
masyarakat jawa, terutama pada wanita
untuk memeperjuangan kesetaraan gander. Hal pertama yang merubah pemikiran kaum
wanita adalah sedikit demi sedikit meninggalkan
penggunaan kata “wanita” dan
memakai penggunaan kata yang lebih tepat yaitu perempuan.
Pada pasca reformasi
perempuan mulai mendapatkan hak-haknya. Perempuan mulai banyak terlihat di
dalam panggung perpolitkan di Indonesia menempati jabatan-jabatan startegis
yang sebelumnya tidak didapatkannya. Hal itu didukung oleh peraturan pemerintah
yang dituliskan dalam Undang-undang No. 12 tahun 2003 pasal 65 ayat (1) dan
(2). Adapun Undang-undang ini berbunyi:
(1) Setiap partai politik beserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten / Kota untuk setiap daerah pemilihan, dengan
memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen; (2) Setiap
partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120
persen jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap daerah pemilihan.
Seperti kota
Surabaya, keterwakilan perempuan dalam kehidupan politik sangatlah
membanggakan. Menurut wakil ketua DPRD kota Surabaya periode 2014-2019, Masduki
Toha, mengatakan bahwa dari jumlah anggota DPRD sebanyak 50 orang, 34 persen
atau 17 orang diantaranya adalah perempuan. Terpenuhinya kuota
perempuan 30 persen bahkan melebihi kuota yang telah ditetapkan di dalam
anggota DPRD, ditambah dengan keterwakilan perempuan yang juga ada di dalam pemerintahan kota Surabaya,
yaitu terpilihnya Tri Risma Harini sebagai Walikota Surabaya merupakan suatu
prestasi tersendiri bagi Kota Surabaya.
Menurut anggota komisi
D, Dyah Katarina, di dalam representasi politik perempuan di DPRD Surabaya,
masing-masing memiliki tanggung jawab yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Semua anggota memiliki tugas yang sama dan adil dalam pembuatan keputusan
bersama sehingga tidak ada pendapat atau gagasan yang tidak ditampung di dalam
pertimbangan pengambilan keputusan.
Namun yang membedakan
laki-laki dan perempuan di dalam DPRD adalah
ketika mereka menghadapi kasus atau isu yang lebih mengarah ke gander.
Perjuangan dan peran yang dilakukan memiliki porsi dan tingkat sensitif yang berbeda
dalam mengahdapi kasus mengenai gander. Misalnya saja isu yang meyangkut
perempuan, tentunya anggota DPRD perempuan yang lebih sensitif dan lebih
memahami hal tersebut dibandingkan dengan anggota laki-laki.
Seperti contoh kasus
KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) terhadap anak. Seorang bapak memukul
anaknya seringkali dianggap biasa bagi seorang bapak untuk memberikan efek jera
atas perbuatan anaknya. Tetapi, berbeda dengan pemikiran seorang ibu yang
menganggap bahwa pukulan tersebut sebagai bentuk kekerasan. Perbedaan pandangan
akan laki-laki dan perempuan tersebutlah yang membuat pentinganya keterwakilan
perempuan di DPRD untuk lebih memahami dan juga memberikan peluang terhadap
perempuan untuk mencurahkan semua keluh kesahnya terhadap wakil perempuannya di
DPRD, yang tidak mungkin mereka mencurahkan keluh kesahnya terdapat wakilnya
yang laki-laki karena perbedaan pandangan antara laki-laki dan perempuan dalam
menyikapi suatu permasalahan.
Kemudian selain kasus
KDRT, kasus human trafficking juga
adalah kasus yang tidak kalah memprihatinkan di kota Surabaya. Seperti yang
telah disampaikan anggota ketua komisi D, Agustin Poliana, kasus yang sangat memprihatinkan adalah ketika
terungkapnya penjualan anak di bawah umur yang masih duduk di bangu SMP oleh
germo. Kasus tersebut menjadi dilematis dan rumit ketika adanya undang-undang
perlindungan anak yang melindungi anak dibawah umur dari jeratan hukuman. Hal
itu tentunya jika dibiarkan akan merugikan kaum perempuan di Surabaya.
Maka dari itu DPRD kota
Surabaya mengeluarkan perda mengenai human
trafficking untuk mengatasi permasalahan yang merugikan kaum perempuan
tersebut. Untuk itu DPRD kota Surabaya tidak memberlakukan perlindungan anak di
bawah umur dari jeratan hukuman. hal itu dilakukan agar dapat mengurangi korban
perempuan yang terperangkap dalam kasus human trafficking.
Moderenisasi
yang dibarengi dengan globalisasi di Indonesia membentuk suatu faham-faham baru
atau pemikiran baru menggantikan faham-faham lama di dalam masyarakat
Indonesia. Faham-faham yang berasal dari barat tersebut dapat bebas masuk ke
Indonesia karena adanya peran globalisasi. Nilai-nilai positif yang dibawa di
dalam faham tersebut dapat disaring dan diterima oleh masyarakat Indonesia,
sehingga terjadi perubahan yang positif terhadap masyarakat Indonesia. Faham
feminisme liberal telah mampu merubah arah hidup kaum perempuan Indonesia yang
lebih baik. Secara tidak langsung faham tersebut menyadarkan perempuan
Indonesia akan hak-hak yang pantas untuk diterimanya.
saya tidak setuju adanya faham feminsm. faham itu adalah faham sesat dari barat yang untuk menghancurkan tatanan sosial masyarakat indonesia. pahamilah!!!
ReplyDelete