Wednesday, 7 January 2015

Kontruksi Sosial Perempuan Jawa, Faham Feminisme Liberal dan Representasi Perempuan di Indonesia



Indonesia adalah negara yang masyarakatnya memiliki beraneka ragam karateristik budaya dan adat istiadat yang menghasilkan kultur yang berbeda pada setiap masyarakat Indonesia. Masing-masing adat istiadat memiliki nilai moral tersendiri yang harus dipatuhi setiap masyarakatnya. Nilai moral pada setiap adat membentuk kontruksi sosial pada masyarakatnya. Kontruksi sosial akan mengatur tata cara kehidupan seperti apa yang tidak pantas dan apa yang pantas dan apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya di dalam kehidupan bermasyarakat.

Kontruksi sosial yang ada di dalam masyarakat Jawa contohnya yang mengatur tatanan sosial antara laki-laki dan wanita. Kontruksi sosial yang ada di masyarakat Jawa menempatkan wanita selalu dibawah laki-laki. Filosofi Jawa mengatakan bahwa wanita dalam bahasa Jawa yang memiliki arti bahwa wanita “wani ditoto” sehingga wanita harus menuruti semua apa yang diperintahkan oleh laki-laki (suaminya). Wanita hanya di jadikan objek saja dalam kehidupan tatatan sosial masyarakat jawa.

Akibat dari kontruksi sosial tersebut, wanita banyak yang tidak mendapatkan hak seperti apa yang didapatkan oleh laki-laki. Wanita tidak diperbolehkan mendapatkan pendidikan yang layak seperti halnya laki-laki. Meraka hanya diperbolehkan berurusan dengan kegiatan seputar rumah tangga seperti masak,  merawat anak dan melayani suami. Wanita seperti halnya kaum yang termarginalkan karena hidupnya dipenuhi dengan tekanan dan ketidakbebasan dalam hak yang seharusnya mereka dapatkan.

Proses demokratisasi  pelan-pelan memberikan pencerahan terhadap kaum wanita di Indonesia untuk memberikan kesetaraan hak dalam kehidupan sosial ataupun politik. Adanaya demokartisasi memberikan celah faham-faham gerakan feminisme liberal masuk kedalam tatanan masyarakat Indonesia yang secara tidak langsung memepengaruhi pemikiran-pemikiran masyarakat jawa, terutama  pada wanita untuk memeperjuangan kesetaraan gander. Hal pertama yang merubah pemikiran kaum wanita adalah sedikit demi sedikit meninggalkan  penggunaan kata “wanita”  dan memakai penggunaan kata yang lebih tepat yaitu perempuan.

Pada pasca reformasi perempuan mulai mendapatkan hak-haknya. Perempuan mulai banyak terlihat di dalam panggung perpolitkan di Indonesia menempati jabatan-jabatan startegis yang sebelumnya tidak didapatkannya. Hal itu didukung oleh peraturan pemerintah yang dituliskan dalam Undang-undang No. 12 tahun 2003 pasal 65 ayat (1) dan (2).  Adapun Undang-undang ini berbunyi: (1) Setiap partai politik beserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten / Kota untuk setiap daerah pemilihan, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen; (2) Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120 persen jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap daerah pemilihan.

Seperti kota Surabaya, keterwakilan perempuan dalam kehidupan politik sangatlah membanggakan. Menurut wakil ketua DPRD kota Surabaya periode 2014-2019, Masduki Toha, mengatakan bahwa dari jumlah anggota DPRD sebanyak 50 orang, 34 persen atau 17 orang diantaranya adalah perempuan. Terpenuhinya  kuota  perempuan 30 persen bahkan melebihi kuota yang telah ditetapkan di dalam anggota DPRD, ditambah dengan keterwakilan perempuan yang  juga ada di dalam pemerintahan kota Surabaya, yaitu terpilihnya Tri Risma Harini sebagai Walikota Surabaya merupakan suatu prestasi tersendiri bagi Kota Surabaya.

Menurut anggota komisi D, Dyah Katarina, di dalam representasi politik perempuan di DPRD Surabaya, masing-masing memiliki tanggung jawab yang sama antara laki-laki dan perempuan. Semua anggota memiliki tugas yang sama dan adil dalam pembuatan keputusan bersama sehingga tidak ada pendapat atau gagasan yang tidak ditampung di dalam pertimbangan pengambilan keputusan.

Namun yang membedakan laki-laki dan perempuan di dalam DPRD adalah  ketika mereka menghadapi kasus atau isu yang lebih mengarah ke gander. Perjuangan dan peran yang dilakukan memiliki porsi dan tingkat sensitif yang berbeda dalam mengahdapi kasus mengenai gander. Misalnya saja isu yang meyangkut perempuan, tentunya anggota DPRD perempuan yang lebih sensitif dan lebih memahami hal tersebut dibandingkan dengan anggota laki-laki.

Seperti contoh kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) terhadap anak. Seorang bapak memukul anaknya seringkali dianggap biasa bagi seorang bapak untuk memberikan efek jera atas perbuatan anaknya. Tetapi, berbeda dengan pemikiran seorang ibu yang menganggap bahwa pukulan tersebut sebagai bentuk kekerasan. Perbedaan pandangan akan laki-laki dan perempuan tersebutlah yang membuat pentinganya keterwakilan perempuan di DPRD untuk lebih memahami dan juga memberikan peluang terhadap perempuan untuk mencurahkan semua keluh kesahnya terhadap wakil perempuannya di DPRD, yang tidak mungkin mereka mencurahkan keluh kesahnya terdapat wakilnya yang laki-laki karena perbedaan pandangan antara laki-laki dan perempuan dalam menyikapi suatu permasalahan.

Kemudian selain kasus KDRT, kasus human trafficking juga adalah kasus yang tidak kalah memprihatinkan di kota Surabaya. Seperti yang telah disampaikan anggota ketua komisi D, Agustin Poliana, kasus yang  sangat memprihatinkan adalah ketika terungkapnya penjualan anak di bawah umur yang masih duduk di bangu SMP oleh germo. Kasus tersebut menjadi dilematis dan rumit ketika adanya undang-undang perlindungan anak yang melindungi anak dibawah umur dari jeratan hukuman. Hal itu tentunya jika dibiarkan akan merugikan kaum perempuan di Surabaya.

Maka dari itu DPRD kota Surabaya mengeluarkan perda mengenai human trafficking untuk mengatasi permasalahan yang merugikan kaum perempuan tersebut. Untuk itu DPRD kota Surabaya tidak memberlakukan perlindungan anak di bawah umur dari jeratan hukuman. hal itu dilakukan agar dapat mengurangi korban perempuan yang terperangkap dalam kasus  human trafficking.

Moderenisasi yang dibarengi dengan globalisasi di Indonesia membentuk suatu faham-faham baru atau pemikiran baru menggantikan faham-faham lama di dalam masyarakat Indonesia. Faham-faham yang berasal dari barat tersebut dapat bebas masuk ke Indonesia karena adanya peran globalisasi. Nilai-nilai positif yang dibawa di dalam faham tersebut dapat disaring dan diterima oleh masyarakat Indonesia, sehingga terjadi perubahan yang positif terhadap masyarakat Indonesia. Faham feminisme liberal telah mampu merubah arah hidup kaum perempuan Indonesia yang lebih baik. Secara tidak langsung faham tersebut menyadarkan perempuan Indonesia akan hak-hak yang pantas untuk diterimanya.




         

1 comment:

  1. saya tidak setuju adanya faham feminsm. faham itu adalah faham sesat dari barat yang untuk menghancurkan tatanan sosial masyarakat indonesia. pahamilah!!!

    ReplyDelete