foto ini diambil dari http://denhubrem142.files.wordpress.com/2012/04/foto-puspen-tni-1073.jpg |
Adanya
perubahan yang terjadi saat masa transisi dari orde lama menuju ke pasca
reformasi. Proses demokratisasi mulai terlihat di dalam pemerintahan Indonesia
menuju ke sistem demokrasi yang sebelumnya lebih ke sistem otoriter. Langkah
awal yaitu dengan penghapusan “dwifungsi
ABRI” yang menjadi legitimasi militer masuk dalam politik praktis. Sehingga
dengan dihapusnya dwifungsi ABRI, maka militer kembali ke “Barak” yaitu dilarangnya
militer yang masih anggota aktif terlibat dalam politik praktis dan hanya fokus
pada pertahanan saja. Sehubungan dengan itu, maka mentri-mentri yang dulu
dipegang oleh militer sekarang dikuasai oleh otoritas sipil. Kemudian yang
dulunya TNI dan Polisi tergabung dalam ABRI, sekarang TNI dan Polisi dipisah
menurut fungsinya. Polisi mengurusi permasalahan ranah sipil dalam negeri
sedangkan TNI mengurusi ranah luar negri dan pertahanan negara.
Perubahan
pola hubungan sipil militer memang harus terjadi, karena seharusnya sipil lah
yang memegang kekuasaan proses politik dan militer hanya tunduk kepada otoritas
sipil. Dengan itu esensi demokrasi dapat berjalan dengan semestinya dan baik.
Militer
Saat Orde Baru
Orde baru tentunya erat kaitannya dengan sosok pemimpin yang
tegas sekaligus otoriter tidak lain yaitu Soeharto. Soeharto adalah penguasa
yang menekankan pada konsep dwifungsi
ABRI. Dwifungsi ABRI adalah sebagai landasan militer pada waktu itu untuk
terjun kedalam dunia politik praktis yang menempati posisi-posisi penting dalam
perpolitikan Indonesia. Kekuatan militer yang sangat kuat akan perpolitikan
Indonesia membuat hak sipil tersingkirkan dalam proses politik. Soeharto
menggunakan militer sebagai alat kekuasaannya.
Militer mengawasi seluruh kegiatan masyarakat
dari pusat samapi di tingkat daerah dengan dibentuknya daerah teritorial
angkatan darat. Yang memiputi, Komando
Daerah Militer (Kodam) di tingkat provinsi; Komando Resort Militer (Korem) yang
tingkat sama dengan beberapa kota; Komando Distrik Militer (Kodim) yang sejajar
dengan satu kota; Komando Rayon Militer (Koramil) setara dengan kecamatan; dan
Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang memiliki struktur komando up to down.
Akan tetapi
penyelewengan fungsi yang dilkakukan pada kubu militer atas perintah Soeharto
menyangkut komando daerah teritorial yang seharusnya untuk pertahanan dan
keamanan di daerah malah digunakan sebagai alat politik untuk menyokong rezim
orde baru saja yang mana hanya untuk mendekatkan masyarakat dengan partai
Golkar saja pada waktu itu. Selain digunakan kepentingan untuk menyokong rezim
orde baru adalah untuk mengawasi setiap pergerakan masyarakat yang dianggap
membahayakan stabilitas rezim orde baru agar tidak terjadi aksi-aksi ataupun
demonstrasi dala masyarakat.
Kesadaran masyarakat akan perilaku militer pada waktu itu yang
tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya, yaitu yang seharusnya militer
bersikap netral dan melindungi masyarakat mulai lahir, ketika masyarakat telah
muak akan tekanan yang dilakukan oleh Soeharto dengan kekuatan militernya
terhadap masyarakat yang sudah melewati batas sampai mendominasi seluruh bidang
aspek sosial politik dan ekonomi. Masyarakat menggangap bahwa militer hanya
digunakan sebagai alat mobilisasi masyarakat akan rezim orde baru saja.
Sampai akhirnya puncak kemarahan masyarakat terutama
didalamnya adalah mahasiswa, yang terjadi pada 98 mei yang menuntut adanya
reformasi. Banyak terjadi pelanggaran
HAM yang dilakukan militer dengan banyaknya korban sipil yang berjatuhan.
Tetapi sipil terus mendesak terjadinya reformasi. Reformasi menuntut lengsernya
keppemimpinan Soeharto, kemudian dikembalikanya fungsi ABRI “kembali ke barak” yang tunduk akan otoritas sipil.
Militer
pasca reformasi
Setelah kurusuhan yang
terjadi pada 98 mei, proses demokratisasi
di Indonesia mengalami perubahan yang mulai signifikan. Militer mulai
melakuakan reformasi didalam keorganisasiannya, yang dulunya aktif dalam
politik praktis dan sebagai organisasi yang tidak netral sekarang telah berubah
dan turut mendukung proses demokratisasi di Indonesia. Militer yang kembali
pada fungsinya “kembali ke barak” memberi kesempatan yang seluas-luasnya dan
sepenuh-penuhnya pada sipil untuk menjalankan sistem pemerintahan dan
perolitikan.
Dalam
upaya membenahi ABRI pemisahan dilakukan
menyangkut kedudukan TNI dan POLRI (Kepolisian Republik Indonesia). Sebagai
bagian penting untuk membangun ABRI yang terkonsentrasi pada masalah-masalah
pertahanan, pada 1 April 1999, secara resmi ABRI melepaskan Polisi dari
tubuhnya (Marijan, Kacung 2012: 252). Dari pemisahan tersebut dapat diartikan bahwa
TNI akan meninggalkan fungsi sebagai alat keamanan serta ketertiban. Karena
urusan tersebut adalah kewenangan dari POLRI. Kemudian TNI memiliki fungsi
sebagai alat perahan negara dan kemanan yang berhubungan dengan luar negeri.
Dan juga TNI dan POLRI menegaskan bahwa tidak akan ikut berpartisipasi secara
aktif dalam politik raktis. Dari situlah militer mulai tunduk dan patuh dalam
supremasi sipil.
terimakasih gan, lumayan buat refrensi tugas kuliah.
ReplyDelete