Sunday, 5 October 2014

Sejarah TNI dalam proses Demokrasi Indonesia

foto ini diambil dari http://denhubrem142.files.wordpress.com/2012/04/foto-puspen-tni-1073.jpg
Dalam proses demokratisasi di Indonesia ada banyak hal yang menarik dalam proses tersebut. Salah satu hal yang menarik untuk di cermati adalah militer. Sejarah militer yang cukup panjang dan banyak mengalami perubahan secara bertahap dari sebelum reformasi sampai  pada akhirnya pasca reformasi. Sebelum reformasi yang mana militer memiliki sebuah doktrin yaitu dwi fungsi abri yang mana membawa militer mendapat legitimasi untuk terjun aktif kedalam dunia politik praktis. Militer menempati posisi-posisi penting dalam perpolitikan Indonesia. Mulai dari Mentri, DPR, bahkan Presiden. Seharusnya tempat militer bukan di dalam dunia poitik praktis jika melihat esensi negara demokrasi, karena hak sipil lah yang berhak menempati posisi-posisi tersebut, bukanlah militer.
Adanya perubahan yang terjadi saat masa transisi dari orde lama menuju ke pasca reformasi. Proses demokratisasi mulai terlihat di dalam pemerintahan Indonesia menuju ke sistem demokrasi yang sebelumnya lebih ke sistem otoriter. Langkah awal yaitu dengan penghapusan “dwifungsi ABRI” yang menjadi legitimasi militer masuk dalam politik praktis. Sehingga dengan dihapusnya dwifungsi ABRI,  maka militer kembali ke “Barak” yaitu dilarangnya militer yang masih anggota aktif  terlibat dalam politik praktis dan hanya fokus pada pertahanan saja. Sehubungan dengan itu, maka mentri-mentri yang dulu dipegang oleh militer sekarang dikuasai oleh otoritas sipil. Kemudian yang dulunya TNI dan Polisi tergabung dalam ABRI, sekarang TNI dan Polisi dipisah menurut fungsinya. Polisi mengurusi permasalahan ranah sipil dalam negeri sedangkan TNI mengurusi ranah luar negri dan pertahanan negara.
Perubahan pola hubungan sipil militer memang harus terjadi, karena seharusnya sipil lah yang memegang kekuasaan proses politik dan militer hanya tunduk kepada otoritas sipil. Dengan itu esensi demokrasi dapat berjalan dengan semestinya dan baik.


Militer Saat Orde Baru
       Orde baru tentunya erat kaitannya dengan sosok pemimpin yang tegas sekaligus otoriter tidak lain yaitu Soeharto. Soeharto adalah penguasa yang menekankan pada konsep dwifungsi ABRI. Dwifungsi ABRI adalah sebagai landasan militer pada waktu itu untuk terjun kedalam dunia politik praktis yang menempati posisi-posisi penting dalam perpolitikan Indonesia. Kekuatan militer yang sangat kuat akan perpolitikan Indonesia membuat hak sipil tersingkirkan dalam proses politik. Soeharto menggunakan militer sebagai alat kekuasaannya.
 Militer mengawasi seluruh kegiatan masyarakat dari pusat samapi di tingkat daerah dengan dibentuknya daerah teritorial angkatan darat.  Yang memiputi, Komando Daerah Militer (Kodam) di tingkat provinsi; Komando Resort Militer (Korem) yang tingkat sama dengan beberapa kota; Komando Distrik Militer (Kodim) yang sejajar dengan satu kota; Komando Rayon Militer (Koramil) setara dengan kecamatan; dan Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang memiliki struktur komando up to down.
       Akan tetapi penyelewengan fungsi yang dilkakukan pada kubu militer atas perintah Soeharto menyangkut komando daerah teritorial yang seharusnya untuk pertahanan dan keamanan di daerah malah digunakan sebagai alat politik untuk menyokong rezim orde baru saja yang mana hanya untuk mendekatkan masyarakat dengan partai Golkar saja pada waktu itu. Selain digunakan kepentingan untuk menyokong rezim orde baru adalah untuk mengawasi setiap pergerakan masyarakat yang dianggap membahayakan stabilitas rezim orde baru agar tidak terjadi aksi-aksi ataupun demonstrasi dala masyarakat.
       Kesadaran masyarakat akan perilaku militer pada waktu itu yang tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya, yaitu yang seharusnya militer bersikap netral dan melindungi masyarakat mulai lahir, ketika masyarakat telah muak akan tekanan yang dilakukan oleh Soeharto dengan kekuatan militernya terhadap masyarakat yang sudah melewati batas sampai mendominasi seluruh bidang aspek sosial politik dan ekonomi. Masyarakat menggangap bahwa militer hanya digunakan sebagai alat mobilisasi masyarakat akan rezim orde baru saja.
       Sampai akhirnya puncak kemarahan masyarakat terutama didalamnya adalah mahasiswa, yang terjadi pada 98 mei yang menuntut adanya reformasi.  Banyak terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan militer dengan banyaknya korban sipil yang berjatuhan. Tetapi sipil terus mendesak terjadinya reformasi. Reformasi menuntut lengsernya keppemimpinan Soeharto, kemudian dikembalikanya fungsi ABRI “kembali ke barak”  yang tunduk akan otoritas sipil.

Militer pasca reformasi
       Setelah kurusuhan yang terjadi pada 98 mei, proses demokratisasi  di Indonesia mengalami perubahan yang mulai signifikan. Militer mulai melakuakan reformasi didalam keorganisasiannya, yang dulunya aktif dalam politik praktis dan sebagai organisasi yang tidak netral sekarang telah berubah dan turut mendukung proses demokratisasi di Indonesia. Militer yang kembali pada fungsinya “kembali ke barak” memberi kesempatan yang seluas-luasnya dan sepenuh-penuhnya pada sipil untuk menjalankan sistem pemerintahan dan perolitikan.

       Dalam upaya  membenahi ABRI pemisahan dilakukan menyangkut kedudukan TNI dan POLRI (Kepolisian Republik Indonesia). Sebagai bagian penting untuk membangun ABRI yang terkonsentrasi pada masalah-masalah pertahanan, pada 1 April 1999, secara resmi ABRI melepaskan Polisi dari tubuhnya (Marijan, Kacung 2012: 252).  Dari pemisahan tersebut dapat diartikan bahwa TNI akan meninggalkan fungsi sebagai alat keamanan serta ketertiban. Karena urusan tersebut adalah kewenangan dari POLRI. Kemudian TNI memiliki fungsi sebagai alat perahan negara dan kemanan yang berhubungan dengan luar negeri. Dan juga TNI dan POLRI menegaskan bahwa tidak akan ikut berpartisipasi secara aktif dalam politik raktis. Dari situlah militer mulai tunduk dan patuh dalam supremasi sipil.

1 comment:

  1. Mohammad Hendra Prakoso16 November 2014 at 17:04

    terimakasih gan, lumayan buat refrensi tugas kuliah.

    ReplyDelete