Sunday, 5 October 2014

Analisis Teori Strukturasi : Birokrasi Sebagai Instrumen Politik di Indonesia

Sebelum adanya nama Indonesia, Indonesia yang dulu disebut sebagai nusantara terdiri dari berbagai kerajaan hindu-budha, diantaranya adalah kerajaan kutai, tarumanagera,sriwijaya, majapahit dan masih banyak lagi kerajaan-kerajaan hindu budha pada masa itu. Lalu setelah kerajaan hindu-budha munculah kerajaan-kerajaan islam di  nusantara yaitu diantaranya adalah kesultanan samudra pasai, Kesultan ternate, kesultanan, aceh, kesultanan mataram dan  juga masih banyak lagi yang lain. Kemudian setelah itu masuklah kolonialisme bangsa eropa seperti portugis, voc dan belanda. Dan pada akhirnya  tahun 1945 bulan agustus Indonesia terbebas dari kolonialisme. Kemudian Indonesia membentuk suatu  sistem pemerintahan. Pemerintahan berjalan sampai sekarang dengan berbagai kompleksitas masalah yang mengahasilkan padangan  akan seebuah rezim yaitu rezim orde lama, orde baru dan pasca reformasi.
 Dengan itu, Kerajaan-kerajaan masa lampa, kolinalisme dan  sistem pemerintah orde lama, orde baru dan pasca reformasi memberikan sumbangsih bagi birokrasi di Indonesia. Pengaruh dari kerajaan, kolonialisme, pemerintahan setelah merdeka memberikan perubahan fungsi dan struktur birokrasi. Perubahan-perubahan itu terjadi pada birokrasi dari masa kerajaan sampai masa era reformasi.
Birokrasi erat kaitanya dengan sistem politik yang sedang berlangsung pada jaman itu. Birokrasi tidak dipisahkan dari kepentingan politik pemerintah, sehingga birokrasi erat kaitannya dengan politik praktis. Birokrasi seharusnya memiliki fungsi sebagai institusi kebijakan publik yang bertujuan pada kepentingan publik.
Corak birokrasi yang menjadi partisipan dari kepentingan politik praktis tersebut menyebabkan ciri birokrasi modern yang digagas oleh Max Weber tentang rasionalisme birokrasi sulit untuk diwujudkan . birokrasi berubah menjadi moster raksasayang mengerikan sebagai perwujudan nyata dari kekuasaan negara. (Dwiyanto, Agus 2006: 9).
Teori yang akan membantu menjelaskan akan keterlibatan birokarasi dalam politik adalah teori strukturasi Anthony Giddens.  Teori giddens lebih menghendaki dualitas dari pada dualisme. Giddens mengambil jalan tengah karena pendekatan struktut tidak selalu mempengaruhi aktor dan juga aktor tidak selalu mempengaruhi struktur. Giddens dalam teori strukturasi menjelaskan akan aktor dan agen. Aktor adalah bilamana struktur dapat mempengaruhi dan menentukan arah tindakan yang dilakukan aktor. Kemudian dikatan agen adalah bilamana kekuatan politik itu dapat berpengaruh besar terhadap struktur politik.
Peran birokrasi akan dunia politik akan dijalaskan dari masa kerjaaan, kolonialisme, sistem pemerintah indonesia pasca merdeka. Perubahan-perubahan struktur terjadi ketika birokrasi dihadapkan oleh situasi jaman yang di hadapinya. Dari peran birokrasi sebagai agen yang sangat mempengaruhi struktur politik sampai peran birokrasi yang mulai tidak lagi  memiliki pengaruh besar terhadap struktur politik.
Birokrasi Masa Kerajaan
            Sebelum Indonesia terbentuk, Indonesia dahulu adalah wilayah-wilayah yang  masing-masing wilayah memiliki kerajaan. Kerajaan menerapkan sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat berbentuk kerajaan. Segala keputusan dan kebijakan ada ditangan raja. Masyarakat harus menuruti semua kehendak raja. Raja memegang peran penting akan kebijakan dalam masyarakat. Kebijakan itu mengatur urusan masyarakat yang ada di dalam wilayah kedaulatan  kerajaan itu. Urusan masayarakat itu adalah diantaranya mengenai ekonomi, hukum, dan sosial yang diatur oleh kerajaan.
            Kerajaan dalam mengatur urusan-urusan masyarakatnya dinamakan birokrasi. Pada saat itu birokrasi pemerintahan yang terbentuk adalah birokrasi kerajaan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) penguasa menggangap dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan pribadi; (2) adminstrasi adalah sebagai bentuk perluasan rumah tangga instananya seperti upeti yang diberikan petani kepada kerajaan; (3) tugas pelayanan diberikan untuk raja bukan untuk publik; (4) gaji dari raja yang diberikan kepada pegawai dapat ditarik sewaktu-waktu sekehendak raja; dan (5) para raja ataupun penguasa dapat bertindak sepenuh hatinya tanpa ada yang membatasi kepada rakyatnya. (Dwiyanto, Agus, 2008: 10).
            Pada masa Kerajaan Mataram yang hampir menguasai seluruh pulau Jawa bahkan sampai Bali dan Lombok. Dalam menjalankan pemerintahan yang sangat luas, birokarsi Kerjaaan ada dua bagian, yaitu birokrasi pusat yang ada di keraton dan birokrasi daerah yang ada diluar keraton. Birokrasi pusat diduduki oleh raja sedangkan birokrasi daerah diduduki oleh para Bupati. Bupati adalah sebagai pewakilan Raja di daerah untuk mengatur daerah. Bupati daerah disi oleh diantaranya keluarga kerajaan atau tokoh daerah setempat yang telah dipercaya oleh Raja untuk menjadi Bupati.
            Bupati memiliki bawahan atau pegawai yang disebut abdi dalem. Abdi dalem dibawahi oleeh bupati yang memiliki tugas untuk menjalankan tugas dari seorang bupati. Sehingga bupati memiliki hak otonom. Hak otonom yang dimiliki bupati dianggap sebagai ancaman juga oleh Raja karena sewaktu-waktu  bisa saja bupati melakukan pemberontakan kepada Raja yang memegang birokrasi pusat. Maka dari itu Raja mengutus pegawas atau yang disebut wedana untuk mengawasi Bupati-Bupati di daerah. Kemudian jika terbukti seorang bupati mempunyai rencana pemberontakan attaupun akan melakukan pemerontakan oleh pengawas di laporkan kepada Raja. Raja punya hak untuk membunuh Bupati itu dan keluarganya demi mempertahankan kedaulatan wilayah kerajaan itu.
            Jadi, dalam birokarasi kerajaan Raja memegang penuh akan kekuasaan birokrasi di pusat dan di daerah. Arti dari Pelayanan birokrasi hanya diperuntukan kepada para pejabat Kerajaan seperti Raja dan Bupati bukan untuk pelayanan publik. Rakyat harus tunduk penuh akan kebijakan yang dikeluarkan oleh birokarasi Kerajaan. Birokarasi kerajaan lebih menekankan pada sistem sentaralistik yaitu dengan kuasa penuh yang dimiliki pusat yaitu Raja akan daerah-daerahnya.

Birokarasi Masa Kolonialisme
            Pada saat datangnya masa Kolonialisme di Indonesia tidak memberikan perubahan yang berarti untuk birokrasi pada saat itu. Sistem administrasi pemerintahan pada saat itu malah lebih mendukung adanya birokrasi pola paternaistik yang terlebih dahulu sudah diterapkan oleh Kerajaan-Kerajaan yang ada.  Apa yang diterapkan birokrasi pada jaman masa kolonial hampir memiliki kesaamaan dengan masa Kerajaan yang pada ujunganya kekuasaan penuh jatuh pada Raja ataupun Raja belanda.
Hanya saja yang membedakan adalah terletak pada belanda yang menerapkan sistem  yaitu guberbur jendral memiliki kuasa penuh dalam segala urusan yang ada dalam wilayah jajahan. Kemudian Gubernur jendral dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh para gubernur dan residen. Gubernur adalah sebagai perwakilan pusat yang berkedudukan di Batavia , sedangkan ditingkat Kebupaten bawahan Gubernur adalah asisten residen dan pengawas yang tugasnya untuk mengawasi Bupati dan wedana dalam menjalankan pemerintahan. Padajaman kerajaan, peran bupati sebagai kepala daerah diangkat dari kalangan pribumi yang mempunyai hak otonomdalam menjalankan pemerintahan, tanpa ada pengawasan dari sultanhal itu berubah pada masa kolonialisme yang membatasi wewenang bupati  dalammemerintah daerahnya tidak lagi otonom, akan tetapi telah dibatasi oleh undang-undang dengan mendapat kontrol dari pengawas yang ditunjuk oleh pemerintah pusat(dwiyanto, agus, 2008: 15).
Kemudian dengan adanya pembaruan yang mengahsilkan perubahan sistem birokrasi Belanda yang menjadikan sultan sebagai pusat kekuasaan tidak lagi mempengaruhi secara formal-politik sebagai pimpinan birokrasi akan tetapi kontrol penuh dimiliki oleh Gubernur Jendral yang seuanya adalah orang belanda. Akan tetapi meskipun terjadi pembaruan sebenarnya pemerintahan belanda tidak mengubah corak birokrasi dalm publik akan tetapi  tetap menggunakan asas sentaralisasi sebagai kekuasaan birokrasi yang jatuhnya kekuasaan berada di pihak belanda.
Adanaya birokrasi kolonial lebih mendasarkan pada eksploitasi sumber daya alam yang memanfaatkan birokrasi sebagai alat. Dengan birokarsi yang sikapnya menerapkan feodalisme  yang menggang dirinya sebagai elit yang harus dilayani bukan untuk melayani digunakan untuk mengeksploitasi sumber daya alam oleh pihak belanda. Dengan dibangunya infrasturktur seperti rel sepanjang pulau jawa adalah tidak lain untuk memermudah pihak belanda dalam transportasi mengangkut sumber daya alam.
Jadi birokrasi dijadikan sebagai alat politik untuk menguasai Indonesia dan untuk mengekpoitasi sumber daya alam. Birokarasi kolonialsime yang tidak banyak merubah peninggakan birokrasi Kerajaan yang bersifat hirarki dan sentarlistik dan hanya melakukan perubahan pada sebagian struktur yang diantaranya adalah hilangnya kekuasaan Kerajaaan dalam birokarasi tergantikan oleh Belanda yang tidak lain untuk kepentingan para penguasa Birokrasi belanda.
Birokrasi pada Masa Orde Lama dan Orde Baru

            Setelah berakhirnya masa kolonialisme di Indonesia, para pendiri bangsa melakukan perubahan pengaturan sistem birokrasi yang dulu diterapkan oleh jaman kolonia, dan juga seperti apa pandangan arah bangsa indonesia kedepan. Pandangan akan bentuk negara yang seperti apa yang akan diterapkan di Indonesia. Terjadi dua pilihan opsi yaitu negara kesatuan ataukah negara federasi. pada tahun 1950 undang-undang RIS menggantikan akan undang-undang dasar 1945, yang dulunya negara kesatuan menjadi Negara federal
            Tetapi ada dua persoalan dilematis menyangkut aparat birokrasi pada saat itu. Pertama, bagaimana menepatkan pegawai republik Indonesia yang telah berjasa mempertahankan Indonesia, akan tetai ilmu dalam keahilan birokrasinya masih rendah. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja dengan birokrasi Belanda yang otomatis ilmu akan birokrasinya sudah sangat memadai, akan tetapi dihadapkan dengan pandangan bahwa mereka telah berkhianat dengan bangsa Indonesia karena telah bekerja untuk belanda. (dwijayanto,agus, 2008:32)
            Penerapan sistem parlementer di Indonesia yang telah menghadapi konsekuensi pada seringanya pergantiaan kabinet pada saat itu membuat birokrasi hanya sebagai pengikut dari partai yang sedang berkuasa pada saat itu. Akibatnya kebijakan-kebijakan birokrasi pada saat itu hanya berorientasi pada suatu partai yang berkuasa saja. Kemudian dengan seringnya pergantian kekuasaan yang ada mengakibatkan juga pergantian kabinet yang menimbulkan birokrasi tidak menjalankan progam-progam terdahulu karena seringanya pergantian partai politik yang memenangkan pemilu. Pada akhirnya kinerja birokrasi terpuruk karena tidak terjadi keharmonisan di dalam birokrasi diakibatkan karena adanya sikap saling curiga antar pegawai-pegawai atas ketidaksepahaman antar pegawai birokrasi yang berbeda partai. Konsekuensinya dari itu semua adalah konsentrasi birokrasi pada saat itu bukan untuk pelayanan masyarakat, melainkan hanya untuk kepentingan politik individu ataupun kelompok yang terjadi dalam birokrasi.
            Setelah terjadi peristiwa G-30-S/PKI itualah akhir dari masa orde lama yang digantikan oleh orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto. Soeharto melakukan tindakan pemberantasan anggota-anggota PKI di birokrasi.  Pembaruan struktur birokrasi dilakukan pada masa orde baru, yaitu dengan  peningkatatan kemampuan pegawai dengan pelatihan-pelatihan dan mengahpuskan pengaruh partai politik akan birokrasi dengan meletakan pengaruh birokrasi sipil dibawah kontrol pemerintah pusat. Penyatuan korsp  karyawan dalam negri (kokar mendagri) sebagai cikal bakal KORPRI. Lembaga tersebut sebenarnya hanya untuk kepentingan poitik golkar saja untuk memenangkan pemilu. (Dwijayanto, Agus, 2008:34).
            Birokrasi pada masa orde baru akan kuatnya penetrasi kedalam kehidupan masyarakat, membuat semua kegiatan masyarakat dari lahir sampai mati semua tersentuh oleh birokrasi pemerintah. Seorang penduduk yang baru lahir harus segera melaporkan kepada birokrasi pemerintah setempat untuk mendapatkan akte kelahiran. Berbagai kegiatan sosial, ekonomi, agama dan semua kegiatan harus mendapatkan ijin dari birokrasi yang sangat rumit prosedurnya. Birokrasi benar-benar menyentuh kegiatam masyarakay dari bawah sampa atas bersangkutan dengan birokrasi. Realitas tersebut membuat birokrasi sangat dominan dalam kehidupan masyarakat.
            Pelayan birokrasi yang membuat rantai birokrasi yang harus ditempuh masyarakat dalam berurusan dengan birokrasi. Anggapan bahwa birokrasi sebagai instrumen politik dari pemerintah pusat,militer dan golkar membuat birokrasi sangat sentralistik yang tak ubahnya pada jaman birokrasi masa kerajaaan samapai orde baru yang menerapkan birokrasi terpusat yang merujuk pada kepentingan raja ataupun penguasa pada saat itu.
Angapan bahwa birokrasi ditempatkan sebagai lembaga yang berada diatas maysarakat, yang keberadaanya sebagai pengabdian kepada penguasa. Seperti halnya orde baru yang menempatkan birokrasi sebagai lembaga yang mengontrol masyarakat dengan alasan untuk stabilitas nasional. Pembentukan lembaga, seperti Kopkamtib ( komando pemulihan keamanan dan ketertiban masyarakat,) opsus (operasi khusus), dan Bakortanas ( badan kordinasi stabilitas Nasional), adalah suatu bukti bahwa birokrasi adalah sebagai instrumen politk dalam mengontrol setiap aktifitas publik. (Dwijayanto, Agus, 2008: 45)

Birokrasi Pasca Reformasi
            Berkaca pada birokrasi pada masa orde baru yang lebih terpusat atau sentralistik  berubah menjadi struktur pemerintahan yang desentralisasi. Reformasi birokrasi diharapakan mampu merubah struktur dan fungsi birokrasi yang lebih baik. Perubahan paradigma pada birokrasi diharapakan berubah yaitu birokrasi lebih melayani masayarakat dengan baik dan tidak berpihak pada para penguasa atau elit politik. Akan tetapi sampai sekarang masih belum terjadi perubahan yang dimaksudkan dalam reformasi birokrasi ini dikaenakan masih adanya arogansi dari pejabat birokrasi yang masih saja minta dilayani bukan untuk melayani. Nampaknya warisan demokrasi primordial yang masih melekat pada birokrasi yaitu lanjutan dari birokrasi kerajaan dan kolonial masih di gunakan dalam birokrasi saat ini.
Terbentuknya lembaga-lembaga baru seperti KPK (komisi pemberantasan korupsi) adalah suatu bentuk kelebihan dari birokrasi pada masa ini. KPK yang dibentuk pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memiliki fungsi untuk pemberantasan korupsi, nepotisme, dan kolusi. Banyak kasus korupsi yang terkuak kasusnya baik di eksekutif, legislatif bahkan yudikatif. Kemudian birokrasi menciptakan penyelenggaran pemilu yang berhasil membuat lebih demokrasi. Demokrasi bukan saja pada tingkat pusat melainkan sampai pada tingkat daerah, dengan muculnya pemimin-pemimpin pada tingkat lokal. Walupun masih ada kekurangan yang terjadi dalam proses pemilu saat ini.
            Birokrasi pasca reformasi lebih mengembalikan fungsi birokrasi pada tempatnya  yaitu melayani masyarakat yang tidak lagi berorintasi pada penguasa politik. Birokrasi mencoba untuk menjadi birokrasi yang lebih rasional. Walaupun birokrasi belum mencapai tingkat rasinoal yang menyeleruh akan tetapi birokrasi pasca reformasi lebih baik dari pada birokrasi sebelumnya.






DAFTAR PUSTAKA

Dwijayanto, Agus      dkk.2008.Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia,Gadja Mada University press : Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment