Sebelum
adanya nama Indonesia, Indonesia yang dulu disebut sebagai nusantara terdiri
dari berbagai kerajaan hindu-budha, diantaranya adalah kerajaan kutai,
tarumanagera,sriwijaya, majapahit dan masih banyak lagi kerajaan-kerajaan hindu
budha pada masa itu. Lalu setelah kerajaan hindu-budha munculah kerajaan-kerajaan
islam di nusantara yaitu diantaranya
adalah kesultanan samudra pasai, Kesultan ternate, kesultanan, aceh, kesultanan
mataram dan juga masih banyak lagi yang
lain. Kemudian setelah itu masuklah kolonialisme bangsa eropa seperti portugis,
voc dan belanda. Dan pada akhirnya tahun
1945 bulan agustus Indonesia terbebas dari kolonialisme. Kemudian Indonesia
membentuk suatu sistem pemerintahan.
Pemerintahan berjalan sampai sekarang dengan berbagai kompleksitas masalah yang
mengahasilkan padangan akan seebuah
rezim yaitu rezim orde lama, orde baru dan pasca reformasi.
Dengan itu, Kerajaan-kerajaan masa lampa, kolinalisme
dan sistem pemerintah orde lama, orde
baru dan pasca reformasi memberikan sumbangsih bagi birokrasi di Indonesia.
Pengaruh dari kerajaan, kolonialisme, pemerintahan setelah merdeka memberikan
perubahan fungsi dan struktur birokrasi. Perubahan-perubahan itu terjadi pada
birokrasi dari masa kerajaan sampai masa era reformasi.
Birokrasi
erat kaitanya dengan sistem politik yang sedang berlangsung pada jaman itu.
Birokrasi tidak dipisahkan dari kepentingan politik pemerintah, sehingga
birokrasi erat kaitannya dengan politik praktis. Birokrasi seharusnya memiliki
fungsi sebagai institusi kebijakan publik yang bertujuan pada kepentingan
publik.
Corak
birokrasi yang menjadi partisipan dari kepentingan politik praktis tersebut
menyebabkan ciri birokrasi modern yang digagas oleh Max Weber tentang
rasionalisme birokrasi sulit untuk diwujudkan . birokrasi berubah menjadi
moster raksasayang mengerikan sebagai perwujudan nyata dari kekuasaan negara.
(Dwiyanto, Agus 2006: 9).
Teori
yang akan membantu menjelaskan akan keterlibatan birokarasi dalam politik
adalah teori strukturasi Anthony Giddens.
Teori giddens lebih menghendaki dualitas dari pada dualisme. Giddens mengambil
jalan tengah karena pendekatan struktut tidak selalu mempengaruhi aktor dan
juga aktor tidak selalu mempengaruhi struktur. Giddens dalam teori strukturasi
menjelaskan akan aktor dan agen. Aktor adalah bilamana struktur dapat
mempengaruhi dan menentukan arah tindakan yang dilakukan aktor. Kemudian dikatan
agen adalah bilamana kekuatan politik itu dapat berpengaruh besar terhadap
struktur politik.
Peran
birokrasi akan dunia politik akan dijalaskan dari masa kerjaaan, kolonialisme, sistem
pemerintah indonesia pasca merdeka. Perubahan-perubahan struktur terjadi ketika
birokrasi dihadapkan oleh situasi jaman yang di hadapinya. Dari peran birokrasi
sebagai agen yang sangat mempengaruhi struktur politik sampai peran birokrasi
yang mulai tidak lagi memiliki pengaruh
besar terhadap struktur politik.
Birokrasi Masa Kerajaan
Sebelum
Indonesia terbentuk, Indonesia dahulu adalah wilayah-wilayah yang masing-masing wilayah memiliki kerajaan. Kerajaan
menerapkan sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat berbentuk kerajaan. Segala
keputusan dan kebijakan ada ditangan raja. Masyarakat harus menuruti semua
kehendak raja. Raja memegang peran penting akan kebijakan dalam masyarakat.
Kebijakan itu mengatur urusan masyarakat yang ada di dalam wilayah kedaulatan kerajaan itu. Urusan masayarakat itu adalah
diantaranya mengenai ekonomi, hukum, dan sosial yang diatur oleh kerajaan.
Kerajaan dalam mengatur
urusan-urusan masyarakatnya dinamakan birokrasi. Pada saat itu birokrasi
pemerintahan yang terbentuk adalah birokrasi kerajaan yang memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: (1) penguasa menggangap dan menggunakan administrasi publik
sebagai urusan pribadi; (2) adminstrasi adalah sebagai bentuk perluasan rumah
tangga instananya seperti upeti yang diberikan petani kepada kerajaan; (3) tugas
pelayanan diberikan untuk raja bukan untuk publik; (4) gaji dari raja yang
diberikan kepada pegawai dapat ditarik sewaktu-waktu sekehendak raja; dan (5)
para raja ataupun penguasa dapat bertindak sepenuh hatinya tanpa ada yang
membatasi kepada rakyatnya. (Dwiyanto, Agus, 2008: 10).
Pada masa Kerajaan Mataram yang
hampir menguasai seluruh pulau Jawa bahkan sampai Bali dan Lombok. Dalam
menjalankan pemerintahan yang sangat luas, birokarsi Kerjaaan ada dua bagian,
yaitu birokrasi pusat yang ada di keraton dan birokrasi daerah yang ada diluar
keraton. Birokrasi pusat diduduki oleh raja sedangkan birokrasi daerah diduduki
oleh para Bupati. Bupati adalah sebagai pewakilan Raja di daerah untuk mengatur
daerah. Bupati daerah disi oleh diantaranya keluarga kerajaan atau tokoh daerah
setempat yang telah dipercaya oleh Raja untuk menjadi Bupati.
Bupati memiliki bawahan atau pegawai
yang disebut abdi dalem. Abdi dalem dibawahi oleeh bupati yang memiliki tugas
untuk menjalankan tugas dari seorang bupati. Sehingga bupati memiliki hak
otonom. Hak otonom yang dimiliki bupati dianggap sebagai ancaman juga oleh Raja
karena sewaktu-waktu bisa saja bupati
melakukan pemberontakan kepada Raja yang memegang birokrasi pusat. Maka dari
itu Raja mengutus pegawas atau yang disebut wedana untuk mengawasi
Bupati-Bupati di daerah. Kemudian jika terbukti seorang bupati mempunyai
rencana pemberontakan attaupun akan melakukan pemerontakan oleh pengawas di
laporkan kepada Raja. Raja punya hak untuk membunuh Bupati itu dan keluarganya
demi mempertahankan kedaulatan wilayah kerajaan itu.
Jadi, dalam birokarasi kerajaan Raja
memegang penuh akan kekuasaan birokrasi di pusat dan di daerah. Arti dari
Pelayanan birokrasi hanya diperuntukan kepada para pejabat Kerajaan seperti
Raja dan Bupati bukan untuk pelayanan publik. Rakyat harus tunduk penuh akan
kebijakan yang dikeluarkan oleh birokarasi Kerajaan. Birokarasi kerajaan lebih
menekankan pada sistem sentaralistik yaitu dengan kuasa penuh yang dimiliki
pusat yaitu Raja akan daerah-daerahnya.
Birokarasi Masa Kolonialisme
Pada saat datangnya masa
Kolonialisme di Indonesia tidak memberikan perubahan yang berarti untuk
birokrasi pada saat itu. Sistem administrasi pemerintahan pada saat itu malah
lebih mendukung adanya birokrasi pola paternaistik yang terlebih dahulu sudah
diterapkan oleh Kerajaan-Kerajaan yang ada.
Apa yang diterapkan birokrasi pada jaman masa kolonial hampir memiliki
kesaamaan dengan masa Kerajaan yang pada ujunganya kekuasaan penuh jatuh pada
Raja ataupun Raja belanda.
Hanya
saja yang membedakan adalah terletak pada belanda yang menerapkan sistem yaitu guberbur jendral memiliki kuasa penuh
dalam segala urusan yang ada dalam wilayah jajahan. Kemudian Gubernur jendral
dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh para gubernur dan residen. Gubernur
adalah sebagai perwakilan pusat yang berkedudukan di Batavia , sedangkan
ditingkat Kebupaten bawahan Gubernur adalah asisten residen dan pengawas yang
tugasnya untuk mengawasi Bupati dan wedana
dalam menjalankan pemerintahan. Padajaman kerajaan, peran bupati sebagai kepala
daerah diangkat dari kalangan pribumi yang mempunyai hak otonomdalam
menjalankan pemerintahan, tanpa ada pengawasan dari sultanhal itu berubah pada
masa kolonialisme yang membatasi wewenang bupati dalammemerintah daerahnya tidak lagi otonom,
akan tetapi telah dibatasi oleh undang-undang dengan mendapat kontrol dari
pengawas yang ditunjuk oleh pemerintah pusat(dwiyanto, agus, 2008: 15).
Kemudian
dengan adanya pembaruan yang mengahsilkan perubahan sistem birokrasi Belanda
yang menjadikan sultan sebagai pusat kekuasaan tidak lagi mempengaruhi secara
formal-politik sebagai pimpinan birokrasi akan tetapi kontrol penuh dimiliki
oleh Gubernur Jendral yang seuanya adalah orang belanda. Akan tetapi meskipun
terjadi pembaruan sebenarnya pemerintahan belanda tidak mengubah corak
birokrasi dalm publik akan tetapi tetap
menggunakan asas sentaralisasi sebagai kekuasaan birokrasi yang jatuhnya
kekuasaan berada di pihak belanda.
Adanaya
birokrasi kolonial lebih mendasarkan pada eksploitasi sumber daya alam yang
memanfaatkan birokrasi sebagai alat. Dengan birokarsi yang sikapnya menerapkan
feodalisme yang menggang dirinya sebagai
elit yang harus dilayani bukan untuk melayani digunakan untuk mengeksploitasi
sumber daya alam oleh pihak belanda. Dengan dibangunya infrasturktur seperti
rel sepanjang pulau jawa adalah tidak lain untuk memermudah pihak belanda dalam
transportasi mengangkut sumber daya alam.
Jadi
birokrasi dijadikan sebagai alat politik untuk menguasai Indonesia dan untuk
mengekpoitasi sumber daya alam. Birokarasi kolonialsime yang tidak banyak
merubah peninggakan birokrasi Kerajaan yang bersifat hirarki dan sentarlistik
dan hanya melakukan perubahan pada sebagian struktur yang diantaranya adalah
hilangnya kekuasaan Kerajaaan dalam birokarasi tergantikan oleh Belanda yang
tidak lain untuk kepentingan para penguasa Birokrasi belanda.
Birokrasi pada Masa Orde Lama dan Orde Baru
Setelah
berakhirnya masa kolonialisme di Indonesia, para pendiri bangsa melakukan
perubahan pengaturan sistem birokrasi yang dulu diterapkan oleh jaman kolonia,
dan juga seperti apa pandangan arah bangsa indonesia kedepan. Pandangan akan
bentuk negara yang seperti apa yang akan diterapkan di Indonesia. Terjadi dua
pilihan opsi yaitu negara kesatuan ataukah negara federasi. pada tahun 1950
undang-undang RIS menggantikan akan undang-undang dasar 1945, yang dulunya
negara kesatuan menjadi Negara federal
Tetapi ada dua persoalan dilematis
menyangkut aparat birokrasi pada saat itu. Pertama, bagaimana menepatkan
pegawai republik Indonesia yang telah berjasa mempertahankan Indonesia, akan
tetai ilmu dalam keahilan birokrasinya masih rendah. Kedua, bagaimana
menempatkan pegawai yang telah bekerja dengan birokrasi Belanda yang otomatis
ilmu akan birokrasinya sudah sangat memadai, akan tetapi dihadapkan dengan
pandangan bahwa mereka telah berkhianat dengan bangsa Indonesia karena telah
bekerja untuk belanda. (dwijayanto,agus, 2008:32)
Penerapan sistem parlementer di
Indonesia yang telah menghadapi konsekuensi pada seringanya pergantiaan kabinet
pada saat itu membuat birokrasi hanya sebagai pengikut dari partai yang sedang
berkuasa pada saat itu. Akibatnya kebijakan-kebijakan birokrasi pada saat itu
hanya berorientasi pada suatu partai yang berkuasa saja. Kemudian dengan
seringnya pergantian kekuasaan yang ada mengakibatkan juga pergantian kabinet
yang menimbulkan birokrasi tidak menjalankan progam-progam terdahulu karena
seringanya pergantian partai politik yang memenangkan pemilu. Pada akhirnya
kinerja birokrasi terpuruk karena tidak terjadi keharmonisan di dalam birokrasi
diakibatkan karena adanya sikap saling curiga antar pegawai-pegawai atas
ketidaksepahaman antar pegawai birokrasi yang berbeda partai. Konsekuensinya
dari itu semua adalah konsentrasi birokrasi pada saat itu bukan untuk pelayanan
masyarakat, melainkan hanya untuk kepentingan politik individu ataupun kelompok
yang terjadi dalam birokrasi.
Setelah terjadi peristiwa G-30-S/PKI
itualah akhir dari masa orde lama yang digantikan oleh orde baru dibawah
kepemimpinan Soeharto. Soeharto melakukan tindakan pemberantasan
anggota-anggota PKI di birokrasi. Pembaruan
struktur birokrasi dilakukan pada masa orde baru, yaitu dengan peningkatatan kemampuan pegawai dengan
pelatihan-pelatihan dan mengahpuskan pengaruh partai politik akan birokrasi
dengan meletakan pengaruh birokrasi sipil dibawah kontrol pemerintah pusat.
Penyatuan korsp karyawan dalam negri
(kokar mendagri) sebagai cikal bakal KORPRI. Lembaga tersebut sebenarnya hanya
untuk kepentingan poitik golkar saja untuk memenangkan pemilu. (Dwijayanto,
Agus, 2008:34).
Birokrasi pada masa orde baru akan
kuatnya penetrasi kedalam kehidupan masyarakat, membuat semua kegiatan masyarakat
dari lahir sampai mati semua tersentuh oleh birokrasi pemerintah. Seorang
penduduk yang baru lahir harus segera melaporkan kepada birokrasi pemerintah
setempat untuk mendapatkan akte kelahiran. Berbagai kegiatan sosial, ekonomi,
agama dan semua kegiatan harus mendapatkan ijin dari birokrasi yang sangat
rumit prosedurnya. Birokrasi benar-benar menyentuh kegiatam masyarakay dari
bawah sampa atas bersangkutan dengan birokrasi. Realitas tersebut membuat
birokrasi sangat dominan dalam kehidupan masyarakat.
Pelayan birokrasi yang membuat
rantai birokrasi yang harus ditempuh masyarakat dalam berurusan dengan
birokrasi. Anggapan bahwa birokrasi sebagai instrumen politik dari pemerintah
pusat,militer dan golkar membuat birokrasi sangat sentralistik yang tak ubahnya
pada jaman birokrasi masa kerajaaan samapai orde baru yang menerapkan birokrasi
terpusat yang merujuk pada kepentingan raja ataupun penguasa pada saat itu.
Angapan
bahwa birokrasi ditempatkan sebagai lembaga yang berada diatas maysarakat, yang
keberadaanya sebagai pengabdian kepada penguasa. Seperti halnya orde baru yang
menempatkan birokrasi sebagai lembaga yang mengontrol masyarakat dengan alasan
untuk stabilitas nasional. Pembentukan lembaga, seperti Kopkamtib ( komando
pemulihan keamanan dan ketertiban masyarakat,) opsus (operasi khusus), dan
Bakortanas ( badan kordinasi stabilitas Nasional), adalah suatu bukti bahwa
birokrasi adalah sebagai instrumen politk dalam mengontrol setiap aktifitas
publik. (Dwijayanto, Agus, 2008: 45)
Birokrasi Pasca Reformasi
Berkaca pada
birokrasi pada masa orde baru yang lebih terpusat atau sentralistik berubah menjadi struktur pemerintahan yang
desentralisasi. Reformasi birokrasi diharapakan mampu merubah struktur dan
fungsi birokrasi yang lebih baik. Perubahan paradigma pada birokrasi
diharapakan berubah yaitu birokrasi lebih melayani masayarakat dengan baik dan
tidak berpihak pada para penguasa atau elit politik. Akan tetapi sampai
sekarang masih belum terjadi perubahan yang dimaksudkan dalam reformasi
birokrasi ini dikaenakan masih adanya arogansi dari pejabat birokrasi yang
masih saja minta dilayani bukan untuk melayani. Nampaknya warisan demokrasi
primordial yang masih melekat pada birokrasi yaitu lanjutan dari birokrasi
kerajaan dan kolonial masih di gunakan dalam birokrasi saat ini.
Terbentuknya
lembaga-lembaga baru seperti KPK (komisi pemberantasan korupsi) adalah suatu
bentuk kelebihan dari birokrasi pada masa ini. KPK yang dibentuk pada masa
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memiliki fungsi untuk pemberantasan
korupsi, nepotisme, dan kolusi. Banyak kasus korupsi yang terkuak kasusnya baik
di eksekutif, legislatif bahkan yudikatif. Kemudian birokrasi menciptakan
penyelenggaran pemilu yang berhasil membuat lebih demokrasi. Demokrasi bukan
saja pada tingkat pusat melainkan sampai pada tingkat daerah, dengan muculnya
pemimin-pemimpin pada tingkat lokal. Walupun masih ada kekurangan yang terjadi
dalam proses pemilu saat ini.
Birokrasi pasca reformasi lebih
mengembalikan fungsi birokrasi pada tempatnya
yaitu melayani masyarakat yang tidak lagi berorintasi pada penguasa
politik. Birokrasi mencoba untuk menjadi birokrasi yang lebih rasional.
Walaupun birokrasi belum mencapai tingkat rasinoal yang menyeleruh akan tetapi
birokrasi pasca reformasi lebih baik dari pada birokrasi sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dwijayanto,
Agus dkk.2008.Reformasi Birokrasi
Publik di Indonesia,Gadja Mada University press : Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment