Sunday, 23 November 2014

Meneguhkan Eksistensi Wali

Beberapa hari kebelakang polemik tentang stigma “berhala” terhadap makam para wali yang tercetak di buku pegangan guru Sejarah Kebudayaan Islam (Kurikulum 2013) untuk kelas VII Madrasah Tsanawiyah terbitan Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama menjadi isu hangat, terutama dikalangan pengguna media sosial.

Tentunya penulisan makam wali sebagai representasi dari bentuk “berhala”tidak bisa hanya dianggap sebagai kesalahan ringan yang dianulir begitu saja. Selain mengandung unsur SARA dan juga mengganggu keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia, sebagaimana yang dilontarkan oleh PBNU dalam situs resminya NU Online, hal ini juga bisa dilihat lebih seksama sebagai upaya untuk mendelegetemasi akan eksistensi wali. Terutama akan keberadaan Wali Songo beserta peranannya.
Wali secara etimologi berasal dari bahasa Arab ‘wali’ yang berupa fail (subyek) dengan makna maf’ul (obyek) yang berarti ‘melindungi’ (QS.7:196). Adapula yang bermakna fa’il yang setara dengan makna fail, dengan tekanan bahwa manusia itu menjaga diri (tawalli). Dengan demikian kata wali secara pasif adalah orang yang diinginkan Tuhan (murad), sedangkan secara aktif adalah orang yang menginginkan Tuhan (murid). Hal ini sebagaimana firman Allah: “Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (QS 5:54). Dengan demikian, Allah adalah sahabat (wali) mereka, dan mereka adalah sahabat-sahabat Allah (awliya’). Mereka adalah orang-orang yang dilindungi Allah (QS. 2:257).

Dengan uraian beberapa ayat diatas mengindikasikan bahwa Allah mempunyai hamba-hamba khusus yang dilindungi (awliya) yang dicirikan denan persahabatan-Nya dan dengan anugerah-Nya yang berupa karamah (Agus Sunyoto:39-41:2012).
Landasan syar’i yang menjamin eksistensi Wali dihadapan Allah menjadi basis legetemasi tersendiri untuk menghormatinya, misalnya dengan menziarahi makam para Wali. Adapun terkait dengan ziarah kubur, terutama kepada makam para Wali, tidak cukup dipandang secara sempit lantas menstigma sebagai perbuatan syirik dan bentuk penyembahan terhadap kuburan (baca:berhala).
Dikalangan umat Islam hal tersebut menjadi perkara khilafiyah (perselisihan) akan status hukumnya. Adapun yang memperbolehkan ziarah kubur menganggap hal terebut sebagai bentuk kesunahan sebagaimana yang dicontohkan oleh Rosulullah. Landasan argumentatifnya adalah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Muslim, Rosulullah bersabda: “(Dulu) Aku (Nabi Muhammad) telah melarangkalian emua erziarah ke kuburan, (tetapi sekarang) berziaralah kalian semua ke kuburan. Sesungguhnya hal ini akan mengingatkan kalian pada akhirat.”

Kesunahan akan ziarah kubur juga telah menjadi kesepakatan (ijma’) para ulama sebagamana yang ditulis oleh Imam Nawawi dalam Maj’mu Syarh Muhadzab (5/310), “Mengenai hukum ziarah, semua nash dari Imam Syafi’i dan Ashab (sahabat/pengikut) telah sepakat dengan hukum sunnah agi orang laki-laki. Ini adalah pendapat para ulama. Al-Abdary menyampaikan bahwa hukum sunnah ziarah tersebut adalah konsensus ulama yang dalilnya adalah hadist shohih yang telah masyhur.”
Adapun kesan “menyembah” terhadap makam para wali yang dilakukan oleh para peziarah sebenarnya merupakan prasangka buruk saja. Karena pada hakikatnya ziarah kubur memliki nilai-nilai positif yang berlandaskan tuntunan agama, seperti halnya mengingat mati, tabaruk, mengirim doa, dan lain sebagainya.

Dengan landasan argumentatif dan otoritatif dari sudut pandang yurespudensi Islam (fiqh), maupun teologi (tauhid) sebenarnya polemik akan status hukum ziarah kubur harus segera diakhiri dan tak perlu lagi untuk dipermasalahkan. Maka, ketika ada upaya-upaya untuk mempermasalahkan ziarah kubur kepada makam para Wali perlu ditinjau dari sudut pandang lain.

Dalam benak penulis, upaya mempersoalkan makam Wali dapat ditengarai sebagai upaya untuk mendelegetemasi akan eksistensi dan peranan wali, dalam hal ini Wali Songo. Pandangan ini terkesan konspiratif dan mengada-ada, namun jika dirunut lebih ke belakang, upaya untuk menghilangkan eksistensi Wali Songo dan peranannya sebagai penyebar Islam di Indonesia telah dilakukan secara sistematis dengan berkedok “penelitian ilmiah”

Buku yang dikarang oleh Sjamsudduha yang berjudul Walisanga Tidak Pernah Ada? yang berisi asumsi-asumsi argumentatif bahwa Wali Songo itu tidak pernah ada. Begitu pula buku-buku tulisan MC. Ricklef yang berpendapat bahwa Wali Songo sebagai sebuah mitos. Hal senada juga termaktub dalam Ensiklopedi Islam terbitan Ikhtiar Baru Van Hoeve yang tidak memuat sama sekali entri tentang Wali Songo. Bahkan anggapan yang membawa Islam pertama kali ke Indonesia adalah tiga orang haji asal Sumantera Barat yakni Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piabang yang pembawa ajaran Wahabi pada tahun 1803 M. Tentunya, hal tersebut sebagai perbuatan naïf yang ahistoris.
Dari serangkaian peristiwa tersebut terindikasi kuat adanya gerakan untuk menghilangkan eksistensi Wali Songo atau dengan kata lain yang lebih vulgar sebagai upaya untuk “membasmi” paham mainstream Islam Nusantara – paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang secara sosiokultural-religius dianut oleh varian sosial santri, priyayi, dan abangan.

Dengan cara menghapus keberadaan Wali Songo dari konteks sejarah penyebaran dakwah Islam di Nusanatara, kelak secara akademis keberadaan Wali Songo beserta ajarannya akan terpinggirkan dari ranah sejarah dan tinggal menjadi sekedar dongeng, mitos dan legenda.
Upaya penghilangan dan pemutarbalikan sejarah sebagaimana diatas mengingatkan akan sebuah strategi perang dari Sun Tzu (Pakar perang China kuno), “Untuk menghancurkan sebuah bangsa, tak perlu kau kirim ratusan ribu prajurit, cukup kau hapus ingatan generasi mudanya dari kebesaran nenek moyangnya….”

Oleh : Ibnu Tsani Rosyada
Aktivis PMII Universitas airlangga

Pegiat diskusi kultural

No comments:

Post a Comment