Saturday, 22 November 2014

Monolog Sang Koruptor


Berapa puluh kali sudah aku tak menyaksikan mentari terbenam. Aku terbelenggu di dalam sangkar tembok besi yang kokoh. Sulit keluar dari sini. Berapa pun kalori dikumpulkan untuk menghasilkan energi agar bisa mendobrak tegapnya tembok dan angkuhnya besi, dijamin gagal. Namun, sebenarnya begitu mudah untuk bisa lolos,tinggal berapa banyak lembar yang siap kamu sediakan. Hahaha Sebenarnya aku bukanlah koruptor yang mengeruk uang rakyat sebagaimana yang diberitakan media selama ini. Ini konspirasi. Tepatnya konspirasi global yang ingin menghancurkan institusi partaiku dengan menghancurkan kridebilitas tokoh-tokohnya. Seperti aku ini. Mereka mengirim orang – orang khusus untuk menjebakku dalam suatu transaksi. Dimana transaksi tersebut telah disandiwarakan sedemikian mungkin agar tak tampak prilaku korupsinya. 

Mungkin anda bertanya, transaksi apa? Bisa bermacam-macam. Posisi saya sebagai pejabat dapat mengakses berbagai macam transaksi. Tinggal sebut, mau apa. Tender mega proyek, lancarnya perizinan, mengamankan kepentingan bisnisnya, pesan kebijakan, atau yang lain sebagainya. Dengan beragam transaksi itulah, aku mendapatkan hadiah, ucapan terima kasih, uang lelah, dan terserah apapun namanya pemberian itu disebut. Pemberiannya bukan seratus dua ratus ribu, tapi juta atau bahkan eM eM-an. Siapa yang tidak mau? Hahaha Betapa bodohnya aku. Bisa terjebak dalam bujuk rayu dan pikat musuh – musuh yang senantiasa menebar jaring konspirasi untuk menghancurkan aku dan institusiku,Memang jahat, 

Hampir semua lini dan setiap simpul kebijakan di negeri ini telah terinfeksi konspirasi mereka. Kalangan birokrat dari kelas pucuk hingga kelas lereng telah berada dalam cengkraman. Mereka semua telah membebek  atas kehendak konspirasi. Kata konspirasi bikin kebijakan A, maka mereka, para pejabat yang terhormat, harus mengeluarkan kebijakan A. 

Legeslatif juga banyak yang menjadi belalai – belalai dari gurita konspirasi ini. Orang – orang yang tanpa sungkan mengklaim dirinya wakil rakyat itu, yang ketika kampanye sampai berbusa – busa menolak korupsi, yang dengan bangganya memasang gambar wajah disepanjang jalan dengan tampang sebaik mungkin,  yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat, tidak lebih adalah jongos – jongos VVIP dari konspirasi ini.

Bagaimana tidak, mereka harus patuh pada kendali partai mereka. Jika berani membangkang kebijakan partai, mereka akan disingkirkan dari pekerjaannya sebagai anggota dewan. Padahal investasi yang mereka tanam untuk biaya pencalonan legeslatif belum kembali. Maka, bagaimanapun caranya, semua bisa kembali dan dengan untung yang sebesar – besarnya. Jujur saja, sebenarnya mereka menjadi anggota dewan tidak untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, tapi murni untuk mencari nafkah. Jadi tidak heran jika prinsip mereka, sekali duduk pantang diganti. 

Memang tidak semua, tapi sebagian besar. Hehehehe Belum lagi para pejabat hukum yang telah menjadi momongan mereka. Asal kamu tau saja, banyak para hakim, jaksa, dan juga polisi yang senang menetek pada mereka. Dengan terlibat konspirasi inilah, yang konon disebut para penegak hukum itu, dapat hidup mewah. Mobil terbaru, rumah realestate, deposito berjibun, atau bahkan gundik – gundik cantik, semua berasal jasa mereka memanipulasi hukum demi kepentingan konspirasi ini. Jadi jangan heran kalau terdengar berita rekening gendut, istri simpanan, harta tersembunyi dan lain sebagainya.

Ada sih pejabat yang punya keteguhan dengan semua konspirasi itu, tapi itu akan menghancurkan mereka sendiri. Karir akan berjalan di tempat. Itu masih beruntung, terkadang malah banyak yang diplorotin jabatannya atau bahkan dibanting sekalian, Hancur sudah.

Benar kata orang tua dulu, zaman ini adalah zaman edan, tidak ikut edan maka tidak akan mendapat apa – apa. Tapi ingat, seberuntung apapun orang yang gila tidak akan sebuntung orang yang sehat. Itu adalah teorinya, tapi sulit untuk dipraktekkan Bung. Hahaha 

Maaf, aku ngelantur. Tapi yang perlu diingat, ini semua adalah konspirasi dan aku hanyalah korban dari konspirasi itu. Tolong jangan tertawakan aku. Sekali lagi tolong percaya dengan aku, aku hanyalah korban. Korban konspirasi.

Dilematis. Dulu, dengan penuh kesadaran dan kesiapan aku akan memperjuangkan kepentingan rakyat. Apapun yang terjadi, aku tetap bersama rakyat. Tidak akan berbohong, tidak akan korupsi. Namun apa daya, aku harus terlibat dalam konspirasi. Ini terlalu masif dan tersistematis. Sulit untuk menghindar.

Okelah, aku akan ikuti kebijakan partai. Tidak apa – apa, toh aku masih bisa berkiprah memperjuangkan rakyat. Tapi disisi ini lah posisi dilematis itu muncul awal mula. Ini zaman kapitalis materialistis. Semua diukur dengan uang. Perjuangan pun akan terasa jika disertai dengan uang.
Gaji, tunjangan, dan beragam fasilitas lainnya sebenarnya terlalu kecil jika dibandingkan dengan pengeluaran yang harus aku keluarkan. Asal kamu tau, iuran partai begitu mengikat, proposal bantuan tiap hari datang, belum lagi sumbangan – sumbangan yang sifatnya pencitraan, eh bukan, perjuangan. Misalnya kunjungan ke pesantren, sekolah, panti asuhan, desa tertinggal, organisasi massa, dan lain sebagainya.

Belum lagi teringat sawah dan kebun yang telah melayang untuk biaya kampanye. Apa pernah kamu pernah berfikir betapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk kampanye. Berapa ratus kaos yang harus ditebar, berapa ribu stiker, berpuluh – puluh banner yang dipampang, kudapan dan kopi untuk tiap pertemuan dengan porsi puluhan sampai ratusan orang, biaya transport pendukung, pentas hiburan, dan beragam sumbangan lainnya, itu  semua butuh biaya. Ingat, tidak kecil itu semua.
Maka, untuk bisa memenuhi semua itu, saya terpaksa, mau tidak mau, harus terlibat konspirasi. Ini semua demi rakyat, toh hasilnya juga didistribusikan untuk rakyat. Iya kan?

Ah... aku terlalu jahat. Sudah dipenjara, masih saja membawa rakyat untuk disalahkan. Begitu malangnya nasib rakyat. Sudah uangnya dikorup, hak- haknya tidak terpenuhi, eh masih dikambinghitamkan lagi. Hahahaha 

Jujur, sekali lagi aku mau jujur. Tolong – sekali lagi – percaya denganku. Aku terlibat konspirasi ini awalnya untuk memenuhi kebutuhan primer tersebut dan juga mencari kembalian. Saya kira normal lah. Hehehe 

Tapi begitu merasakan uang yang begitu melimpah dalam waktu yang cepat membuat aku hilang kesadaran. Aku terlena dengan semua itu. Keinginan – keinginan lainnya yang diperuntukkan untuk menunjang prestise sebagai seorang pejabat pun menghampiriku. Bahkan keinginan yang macam – macam pun mulai merasuki otakku. Istri muda terutama. Hahaha....

Akhirnya pun aku larut dalam konspirasi itu. Awalnya risih, kemudian malu – malu tapi mau, beranjak terus menjadi ketagihan. Kebablasan. Tertangkap dan mendekam di balik jeruji penjara.
Itu semua bukan masalah. Dengan jaringan konspirasi yang terbentuk, aku bisa menikmati ruang penjara serasa dikamar hotel. Sayang tidak bisa bercinta disini, tapi itu bukan masalah karena bisa diatur untuk kencan diluar kota sambil pelesir atau bahkan pulang ke rumah. Jangan heran. Hahahaha 

Disini hitung – hitung sedang istirahat. Tidak perlu repot – repot untuk menyiapkan pembelaan karena sudah ada tim yang mengurus itu semua. Aku pesan enam bulan saja tinggal disini. Bandingkan dengan maling ayam yang harus mendekam berbulan – bulan dengan beragam siksaan. Padahal yang dicuri tak seberapa jika dibandingkan dengan uang milyaran yang aku korupsi. Jengkel kan? Hahahaha 

Ah, besok aku mau mampir ke salon dulu agar wajah tampak cerah ketika menghadapi sidang. Dengan baju putih dipadu kopiah hitam dan jangan sampai lupa tasbih tetap melingkar ditangan. Tentunya tidak lupa pula mengontak jaringan konspirasi di media untuk memuat foto terbaik dan terelegius di halaman muka dengan judul, rekayasa politik menjebak tokoh nasional di bui. Hahahaha

IBNU TSANI ROSYADA
Ketua PMII Rayon Sosial (FISIP) UNAIR


No comments:

Post a Comment