Monday, 15 December 2014

Pluralisme Agama Era Majapahit dan Kini

Majapahit sebagai suatu kerajaan besar merupakan suatu bentuk sistem pemerintahan yang kompleks. Majapahit sebagai bentuk kerajaan tidak serta merta menganut sistem monarki sepenuhnya karena pada prakteknya Majapahit tidak menerapkan nilai-nilai demokrasi. Dalam beberapa hal, spirit demokrasi begitu tampak dalam sistem pemerintahan kerajaan Majapahit, terutama dalam konteks kehidupan beragama.
Kehidupan beragama pada masa Majapahit begitu dihargai. Dalam bentangan sejarah Majapahit agama Hindu, Budha, maupun agama Kapitayan (agama asli Jawa) hidup berdampingan dalam masyarakat Majapahit, tanpa adanya pertentangan yang berarti. Majapahit juga mengapresiasi agama – agama tersebut dengan mengangkat para pemuka agama dari masing – masing agama. Hal ini tampak dari institusi kerajaan Majapahit dalam bidang keagamaan yang bernama Dharmadhyaksa. Pada institusi ini terdapat dua jabatan. Pertama, Dharmadhyaksa ring kasaiwan yang merupakan jabatan yang mengurus keperluan agama Shiwa. Dan juga Dharmadhyaksa ring kasogatan yang merupakan jabatan yang mengurusi keperluan agama Budha. Dharmadhyaksa adalah penjabat tinggi yang bertugas secara yuridis mengenai masalah-masalah keagamaan. Jabatan ini diduduki oleh dua orang, yaitu: Dharmadhyaksa ring Kasaiwan untuk urusan agama Siwa, Dharmadhyaksa ring Kasogatan untuk urusan agama Budha. Masing-masing dharmadhyaksa ini dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sejumlah pejabat keagamaan yang disebut dharmaupapatti atau upapatti, yang jumlahnya amat banyak.
Pada masa Hayam Wuruk hanya dikenal tujuh upapatti, yakni: sang upapatti sapta: sang pamget i tirwan, kandhamuni, manghuri, pamwatan, jhambi, kandangan rare, kandangan atuha.
Di antara upapatti itu ada pula yang menjabat urusan sekte-sekte tertentu, misalnya: bhairawapaksa, saurapaksa, siddahantapaksa, sang wadidesnawa, sakara, dan wahyaka. Dalam Nāgarakṛtāgama (Pupuh 73:2). Di antara beberapa upati itu merupakan perwakilan agama-agama yang ada saat itu sehingga kehidupan dalam tatanan pemerintahan majapahit begitu rukun dan jarang terjadi perselisihan karena perbedaan agama.
Kehidupan demokratis dalam konteks pluralisme beragama pada era Majapahit juga semakin tampak tatkala agama Islam awal kali masuk ke dalam kerajaan Majapahit. Pernikahan Prabu Brawijaya V yang beragama Budha melakukan pernikahan dengan salah satu putri dari kerajaan Champa yang beragama Islam. Meskipun sang istri beragama Islam, prabu Brawijaya tidak memaksakan sang istri untuk memeluk agama Budha, tapi justru memberi keleluasaan kepada sanak family dari istrinya yang beragama Islam untuk menyebarkan ajaran Islam ke masyarakat Majapahit. Hal ini begitu tampak pada riwayat penyebaran Islam oleh Raden Rahmat atau dikenal dengan sebutan Sunan Ampel.
Pada masa pemerintahan kerajaan majaphit khususnya masa kepemimpinan Raja hayam wuruk kerukunan antar umat beragama sangat dijunjung tinggi, hal itu dapat dilihat dalam susunan pemerintahan kerajaan majapahit yang berasal dari beberapa agama, agama hindu dan budha yang notabenya merupakan agama mayoritas hidup berdampingan secara rukun, pada masa akhir majapahit ketika masuknya islam juga diberi ruang oleh pemerintah kerajaan untuk memperkenalkan ajarannya sehingga tidak ada permasalahan dan pertentangan akibat perbedaan dan kehidupan pemerintahan berjalan dengan baik yang pada puncaknya menjadikan kerajaan yang besar, aman damai dan sejahtera. luar biasa pemerintahan monarkhi mampu mewujudkan hal tersebut. Mungkin pada masa itu belum mengenal system demokrasi namun pada prakteknya kerajaan majaphit telah mampu menerapakan nilai-nilai demokrasi.
Cukup bertolak belakang dengan dengan era sekarang Negara Indonesia yang menganut system demokrasi dimana kebebasan, kesetaraan, dan penegakan HAM selalu “digembar-gemborkan” masih banyak mencatat kasus kekerasan yang diakibatkan oleh perbedaan agama maupun aliran keagamaan. Banyak minoritas yang jiwanya terancam ketika melaksankan kegiatan peribadatan, banyak orang dipenjara karena mensosialisasikan pemikiran yang tidak sesuai dengan pemikiran mayoritas, dalam, tatanan pemerintahan juga masih banyak didominasi oleh kaum mayoritas, dan yang terbaru adalah penolakan terhadap Gubernur DKI Jakarta karena berbeda agama dengan mayoritas. pluralisme yang seharusnya tumbuh subur dalam system demokrasi justru dibunuh oleh penerapan system demokrasi yang tidak sesuai. Jika seperti ini sulit membedakan mana Negara monarkhi mana Negara demokrasi.

Penulis : Ibnu Tsani Rosyada



4 comments:

  1. ajaran2 dari padang pasir ini membuat kehidupan menjadi ganas.

    ReplyDelete
    Replies
    1. bukan masalah ajarannya tapi bagaimana seseorang memahami ajaran agama tersebut.....

      Delete
  2. bukan masalah ajarannya tapi bagaimana seseorang memahami ajaran agama tersebut.....

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete