Majapahit sebagai suatu kerajaan besar merupakan suatu bentuk sistem
pemerintahan yang kompleks. Majapahit sebagai bentuk kerajaan tidak serta merta
menganut sistem monarki sepenuhnya karena pada prakteknya Majapahit tidak menerapkan nilai-nilai demokrasi. Dalam beberapa hal, spirit demokrasi begitu
tampak dalam sistem pemerintahan kerajaan Majapahit, terutama dalam konteks
kehidupan beragama.
Kehidupan beragama pada masa Majapahit begitu dihargai. Dalam
bentangan sejarah Majapahit agama Hindu, Budha, maupun agama Kapitayan (agama
asli Jawa) hidup berdampingan dalam masyarakat Majapahit, tanpa adanya
pertentangan yang berarti. Majapahit juga mengapresiasi agama – agama tersebut
dengan mengangkat para pemuka agama dari masing – masing agama. Hal ini tampak
dari institusi kerajaan Majapahit dalam bidang keagamaan yang bernama
Dharmadhyaksa. Pada institusi ini terdapat dua jabatan. Pertama, Dharmadhyaksa ring kasaiwan yang
merupakan jabatan yang mengurus keperluan agama Shiwa. Dan juga Dharmadhyaksa
ring kasogatan yang merupakan jabatan yang mengurusi keperluan agama Budha.
Dharmadhyaksa adalah penjabat tinggi
yang bertugas secara yuridis mengenai masalah-masalah keagamaan. Jabatan ini
diduduki oleh dua orang, yaitu: Dharmadhyaksa
ring Kasaiwan untuk urusan agama Siwa, Dharmadhyaksa
ring Kasogatan untuk urusan agama Budha. Masing-masing dharmadhyaksa ini
dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sejumlah pejabat keagamaan yang disebut
dharmaupapatti atau upapatti, yang
jumlahnya amat banyak.
Pada masa Hayam Wuruk hanya dikenal tujuh upapatti, yakni: sang upapatti sapta: sang pamget i tirwan,
kandhamuni, manghuri, pamwatan, jhambi, kandangan rare, kandangan atuha.
Di antara upapatti itu ada pula yang menjabat urusan sekte-sekte tertentu, misalnya: bhairawapaksa, saurapaksa, siddahantapaksa, sang wadidesnawa, sakara, dan wahyaka. Dalam Nāgarakṛtāgama (Pupuh 73:2). Di antara beberapa upati itu merupakan perwakilan agama-agama yang ada saat itu sehingga kehidupan dalam tatanan pemerintahan majapahit begitu rukun dan jarang terjadi perselisihan karena perbedaan agama.
Di antara upapatti itu ada pula yang menjabat urusan sekte-sekte tertentu, misalnya: bhairawapaksa, saurapaksa, siddahantapaksa, sang wadidesnawa, sakara, dan wahyaka. Dalam Nāgarakṛtāgama (Pupuh 73:2). Di antara beberapa upati itu merupakan perwakilan agama-agama yang ada saat itu sehingga kehidupan dalam tatanan pemerintahan majapahit begitu rukun dan jarang terjadi perselisihan karena perbedaan agama.
Kehidupan demokratis dalam konteks pluralisme beragama pada era
Majapahit juga semakin tampak tatkala agama Islam awal kali masuk ke dalam
kerajaan Majapahit. Pernikahan Prabu Brawijaya V yang beragama Budha melakukan
pernikahan dengan salah satu putri dari kerajaan Champa yang beragama Islam.
Meskipun sang istri beragama Islam, prabu Brawijaya tidak memaksakan sang istri
untuk memeluk agama Budha, tapi justru memberi keleluasaan kepada sanak family
dari istrinya yang beragama Islam untuk menyebarkan ajaran Islam ke masyarakat
Majapahit. Hal ini begitu tampak pada riwayat penyebaran Islam oleh Raden
Rahmat atau dikenal dengan sebutan Sunan Ampel.
Pada masa pemerintahan kerajaan majaphit khususnya masa kepemimpinan
Raja hayam wuruk kerukunan antar umat beragama sangat dijunjung tinggi, hal itu
dapat dilihat dalam susunan pemerintahan kerajaan majapahit yang berasal dari
beberapa agama, agama hindu dan budha yang notabenya merupakan agama mayoritas
hidup berdampingan secara rukun, pada masa akhir majapahit ketika masuknya
islam juga diberi ruang oleh pemerintah kerajaan untuk memperkenalkan ajarannya
sehingga tidak ada permasalahan dan pertentangan akibat perbedaan dan kehidupan
pemerintahan berjalan dengan baik yang pada puncaknya menjadikan kerajaan yang
besar, aman damai dan sejahtera. luar biasa pemerintahan monarkhi mampu
mewujudkan hal tersebut. Mungkin pada masa itu belum mengenal system demokrasi
namun pada prakteknya kerajaan majaphit telah mampu menerapakan nilai-nilai
demokrasi.
Cukup bertolak belakang dengan dengan era sekarang Negara Indonesia
yang menganut system demokrasi dimana kebebasan, kesetaraan, dan penegakan HAM
selalu “digembar-gemborkan” masih banyak mencatat kasus kekerasan yang
diakibatkan oleh perbedaan agama maupun aliran keagamaan. Banyak minoritas yang
jiwanya terancam ketika melaksankan kegiatan peribadatan, banyak orang
dipenjara karena mensosialisasikan pemikiran yang tidak sesuai dengan pemikiran
mayoritas, dalam, tatanan pemerintahan juga masih banyak didominasi oleh kaum
mayoritas, dan yang terbaru adalah penolakan terhadap Gubernur DKI Jakarta
karena berbeda agama dengan mayoritas. pluralisme yang seharusnya tumbuh subur
dalam system demokrasi justru dibunuh oleh penerapan system demokrasi yang
tidak sesuai. Jika seperti ini sulit membedakan mana Negara monarkhi mana
Negara demokrasi.
Penulis : Ibnu Tsani Rosyada
ajaran2 dari padang pasir ini membuat kehidupan menjadi ganas.
ReplyDeletebukan masalah ajarannya tapi bagaimana seseorang memahami ajaran agama tersebut.....
Deletebukan masalah ajarannya tapi bagaimana seseorang memahami ajaran agama tersebut.....
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete