Thursday, 11 June 2015

Jusuf kalla, kaset ngaji bikin polusi udara: kontroversi antara masyarakat intelektual dan tradisonal

Peryataan Jusuf Kalla mengenai pelarangan masjid untuk memutar kaset ngaji menjadi polemik ditengah masyarakat. Pasalnya masyarakat sudah terbiasa menggunakan kaset ngaji dan juga kegiatan-kegiatan masjid seperti shalawatan dan puji-pujian dengan menggunakan speaker masjid bervolume keras.

Terjadi pro kontra ditengah masyarakat atas peryataan wakil presiden tersebut. Banyak kyai dan masyarakat yang tinggal di kampung atau dengan kondisi lingkungan homogen (agama), tidak setuju dengan peryataan Jusuf Kalla tersebut.
Berbeda dengan mereka yang lebih berintelektual dan tinggal di lingkungan kondisi yang heterogen, mereka setuju dengan peryataan tersebut.

Seperti yang penulis amati di suatu wilayah di Surabaya tepatnya di kelurahan gebang putih, dalam radius 500 meter terdapat 5 masjid dan juga banyak mushola-mushola kecil. Ketika adzan berkumandang, lima masjid saling bersautan dengan volume suara yang keras sehingga tidak terdengar jelas. Ada yang sholawatan, ada yang baru mulai adzan, ada yang masih memutar suara kaset ngaji.

Tidak hanya itu, masjid juga sering menggunakan speaker luar dengan suara yang keras untuk kegiatan-kegiatan masjid. "suara ngaji dari masjid itu bisa ngusir setan-setan di rumah, jadi itu tidak masalah" ujar salah satu warga kampung. Dan juga pada waktu itu ada salah satu warga yang sakit " sebenernya saya terganggu dengan suara speaker masjid yang sangat keras, tapi saya takut kualat" ujar salah satu warga lagi saat penulis mewawancarai.

Memang pada umumnya masyarakat indonesia masih memiliki nilai religiusitas yang masih tinggi. Namun, kebanyakan mereka memaksakan menerima walaupun pada hati kecilnya tidak berkata seperti itu. Seperti suara speaker masjid diluar adzan yang menggangu, tetapi mereka tidak berdaya untuk mengkritisi. Dan juga mereka lebih menghubung-hubungkan dengan hal-hal ghaib, tidak mengerti esensi sebenarnya dari apa yang mereka dengarkan.

Penulis juga mengamati di kota surabaya yang sudah modern ini masih ada kekeliruan religiusitas. Ketika ada seorang anak kyai pondok pesantren yang masih berumur baru 5 tahun bertemu santri yang berumur 20 tahun mencium tangan anak kyai tersebut. Mereka mengatakan bahwa, mencium tangan anak kyai itu mendapat barokah yang besar dari Allah.

Hal-hal irasional yang dekat dengan masyarakat tradisonal mengenai agama inilah yang menjadikan sekeras apapun suara speaker masjid selain adzan tidak akan pernah dikritisi ataupun merasa terganggu.

Berbeda dengan masyarakat tradisonal, masyarakat yang intelektual dan modern lebih menghubungkan sifat rasional ke agama. Seperti suatu daerah di Sidoarjo, ada masjid dengan bangunan masjid yang megah berdiri bukan dari sumbangan di jalan jalan tetapi atas inisiatif warganya sendiri untuk membangun masjid, bahkan ada warga yang beragama selain islam juga ikut menyumbang untuk pembangunan masjid.

Masjid disana tidak menggunakan speaker luar selain adzan untuk lebih bisa bertoleransi. Pengajian, acara-acara masjid hanya menggunakan speaker dalam. Dengan begitu Islam dipandang sebagai agama yang rahmatan lil alamin bukan sebagai agama yang selama ini digeneralisasi seperti organisasi islam radikal di timur tengah.

Bahkan di mekkah pun tidak ada suara puji-pujian atau acara masjid selain adzan yang menggunakan speaker luar. Memang ada perbedaan histori antara indonesia dan arab saudi, tetapi setidaknya ini dapat sebagai tolak ukur.

Penulis arif bagus permadi, mahasiswa ilmu politik unair








No comments:

Post a Comment